49 - Arti Sebuah Pesan

26 7 17
                                    

Daffin pulang ke rumahnya, ia sudah mengganti pakaian yang basah tadi dengan pakaian kering. Ia kemudian keluar rumah untuk pergi ke suatu tempat. Namun ketika ia hendak keluar dari gerbang ia terkejut saat ia berhadapan dengan seorang wanita paruh baya yang kini sudah berdiri di hadapannya yang tidak lain adalah ibunya. Daffin hanya terdiam dan tidak bergerak dari tempatnya.

"Bisakah kita bicara?" tanya wanita paruh baya itu kepada Daffin, Daffin masih saja terdiam, kemudian akhirnya ia mengganggukkan kepalanya.

Mereka berdua duduk di sebuah cafe di dekat rumahnya. Mereka hanya saling terdiam, bingung apa yang harus dikatakan. Daffin menatap ibunya itu tanpa ekspresi. Kemudian wanita itu memulai pembicaraan.

"Daffin, bagaimana kabarmu? Kau sudah tumbuh besar." Wanita itu menyentuh pipi Daffin namun Daffin menepisnya dengan kasar. Ibunya terkejut, namun akhirnya ia menarik kembali tangannya. "Aku tahu, kau pasti membenciku. Tapi bisakah kita saling memaafkan." Daffin menatap manik mata wanita itu, ia terlihat tulus mengatakannya. Ia tersenyum kecut.

"A-aku tidak bisa." Daffin terlihat ragu. Namun jawaban itu yang terlontar dari mulut Daffin. Wanita paruh baya itu menundukkan kepalanya, ia sedikit menahan air matanya agar tidak terpecah.

"Sudah kuduga kau tidak akan memaafkanku. Kalau begitu sampai jumpa Daffin hanya itu yang ingin kubicarakan denganmu. Mungkin ini pertemuan terakhirku denganmu, jaga diri baik-baik ya." Daffin tersentak mendengar perkataannya, apalagi kalimat terakhirnya. Wanita paruh baya itu berjalan melewati Daffin.

"Tunggu dulu. Sekarang kau juga akan meninggalkanku?" Mereka berbicara saling membelakangi.

"Aku akan pergi ke luar negeri, aku sudah tidak diterima lagi di sini dan mungkin aku tidak akan kembali lagi ke sini. " Daffin terdiam. Ia membalikkan badannya.

"Sebenarnya aku tidak pernah membencimu. Hanya saja sejak kejadian itu aku sudah kehilangan semuanya, termasuk kamu ibu." Wanita itu tidak bisa menahan air matanya yang mulai menetes.

Ibu Daffin membalikkan badannya menghadap Daffin. "Kau tahu, cintaku dulu dengan ayahmu hanya bertepuk sebelah tangan. Dia menyukai wanita lain, itu sebabnya pernikahan kami ini menjadi penghalang baginya. Ayahmu tidak pernah mencintaiku. Maaf Daffin ibu tidak bisa menjaga kalian berdua dengan baik, tidak memperlakukanmu dengan baik. Ibu menyesal, namun kamu pasti tidak akan mudah memaafkan ibu." Daffin merasa sedikit sedih mendengarkan kejadian yang sebenarnya. Hatinya ikut tersayat mendengar kepedihan ibunya, namun ibunya juga yang membuatnya menderita selama ini.

"Kalau begitu ibu akan pergi." Ibu Daffin berjalan keluar dari cafe, Daffin merasa ia tidak ingin ia meninggalkannya. Daffin segera berjalan menyusul ibunya yang belum berjalan cukup jauh.

"Ibu," panggil Daffin yang membuat wanita itu menoleh ke arah Daffin. "Bolehkah aku memelukmu untuk terakhir kalinya?" Ibu Daffin terlihat sedikit terkejut namun ia langsung memeluk Daffin. Ia menangis dalam pelukan Daffin sebelum akhirnya mereka melepaskan pelukannya.

"Daffin." Wanita itu menyentuh pipi Daffin. "Jaga diri baik-baik ya." Daffin hanya terdiam. Kemudian akhirnya wanita itu sudah pergi dari hadapan Daffin. Ia tersenyum untuk terakhir kalinya membuat hati Daffin terasa sakit.

Daffin kembali ke rumahnya dengan lesu. Ia berjalan dengan lunglai dan terlihat tidak bertenaga. Daffin menjatuhkan dirinya di kasur sambil meletakkan tangan kanannya di dahi. Ia mengingat dengan apa yang baru saja terjadi. "Hah, satu persatu mereka mulai meninggalkanku." Daffin menghela napas panjang. Kemudian sesaat ia tersenyum. Daffin membayangkan kejadian dulu dua tahun yang lalu. Hal yang membuatnya kembali mengembangkan senyumnya. Bisa dibilang gadis itu membantunya mengeluarkannya dari bayang-bayang kegelapan.

Daffin duduk sendirian di sebuah kursi perpustakaan. Saat ini ia selalu menyendiri, sejak kepergian kakaknya ia merasa tidak pernah mengembangkan senyumnya dan tidak pernah menemui teman-teman yang lain. Pandangannya kemudian teralihkan ketika melihat gadis berambut pendek itu. Ia sampai tidak berkedip menatapnya.

"Siapa gadis itu? Aku tidak pernah melihatnya. Aku setiap hari pergi ke perpustakaan ini namun baru pertama kali melihat gadis itu," gumam Daffin sedikit terpesona dengan gadis itu. Saat itu gadis itu, menyadari Daffin sedang memperhatikannya. Gadis itu tersenyum ke arah Daffin. Daffin menundukkan kepalanya dan kembali membaca buku.

Daffin kembali tersadar dari lamunannya. "Senyuman yang ditujukan padaku waktu itu, dia sangat cantik." Daffin tersenyum menatap langit-langit kamarnya di mana ia melihat bayangan gadis itu di matanya.

Daffin berjalan ke arah dapur. Ia mengambil mie instant yang ada di lemari lalu ia mulai memasaknya. Setelah matang ia mulai memakan mie yang dibuatnya sendiri. Daffin merasa mie yang dibuatnya hari ini terasa hambar sesuai dengan suasana hatinya saat ini.

Sesaat ia mendengar suara mobil yang berada di luar rumahnya, ayahnya masuk ke rumahnya namun Daffin bahkan tidak menyapanya, menoleh pun tidak. Ia masih menyantap mie instant itu. Ayahnya berjalan melewati Daffin setelah meletakkan tasnya, ia duduk di hadapan Daffin.

"Apa kau hanya mau makan mie instant saja?" tanya ayah Daffin. Daffin hanya terdiam tidak menjawab pertanyaan ayahnya.

Baru saja ayahnya melahap satu suap makanan ke mulutnya. Daffin meletakkan sumpitnya ke meja.

"Aku sudah kenyang." Daffin berjalan menjauhi meja makan. Hari ini selera makannya menjadi hilang begitu ayahnya muncul. Ayahnya menatap kepergian Daffin dengan tatapan sendu, ia akhirnya makan sendirian dan tidak ada yang menemaninya. Ia menatap sepiring mie instant di hadapannya masih tersisa setengah. Ia hanya menghela napas panjang.

Daffin kemudian melihat ponselnya. Ada pesan dari Riko yang mengatakan ia masuk berita sekolah. Namun lagi-lagi Daffin mengabaikannya dan merasa tidak peduli. Namun karena Riko terlalu cerewet akhirnya Daffin membuka berita itu juga. Ia melihat dirinya yang basah kuyup dalam foto itu dengan Keira. Ia merasa tidak terlalu mempersalahkannya, ia malah lebih mengkhawatirkan Keira.

Daffin Bailey :
Keira, apa kau sudah melihat berita itu? Apa kau baik-baik saja?

Keira langsung membaca pesan itu, ia kemudian mengetikkan balasan dan mengirimnya pada Daffin.

Arquella Keira :
Hmm, tapi aku sedikit malu dengan kejadian tadi. Bagaimana denganmu?

Daffin Bailey :
Aku tidak mempedulikannya.

Arquella Keira :
Kau ini memang tidak terlalu mempermasalahkannya ya.

Daffin Bailey :
Karena aku tidak mau mempermasalahkan hal yang tidak penting, membuatku membuang waktu saja.

Keira tertawa membaca balasan dari Daffin. Walaupun Daffin itu orang yang kaku tetapi mampu membuat Keira tertawa juga.

Arquella Keira :

Keira membelalakkan matanya, ia tidak sengaja memencet emoticon hati. Ia buru-buru menghapus pesan itu.

Arquella Keira :
Anda telah menghapus pesan ini.

Pembicaraan mereka akhirnya terhenti sampai di sini. Keira menyesali dirinya yang tidak sengaja melakukannya. "Bagaimana ini? Bagaimana kalau dia sudah melihatnya? Akkh menyebalkaaan." Keira membentur-benturkan kepalanya di atas bantal.

Daffin hanya terdiam memandangi ponselnya. Ia sempat melihat apa yang baru saja Keira kirim. Ia mengambangkan senyumnya. Namun ia pura-pura tidak melihatnya.

Daffin Bailey :
.

Daffin mengirim sebuah gambar. Keira melihat pesan dari Daffin yang hanya berupa titik. "Apa maksudnya ini?" Ia mengerutkan keningnya tidak mengerti. "Apa jangan-jangan. Dia sudah membacanya? Aaah." Keira mengacak-ngacak rambutnya dengan kesal.

Haii!! Jangan lupa untuk vote dan comment ya^^

See you~

Started in the Library [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang