Hari-hari baik itu sudah selesai, sudah lama sekali dan Jean lelah dengan apa yang terus menghantuinya selama ini. Sekedar kata, sepertinya sudah mendarah daging jika hal yang sudah lepas dari kendali kerap menjadi memperburuk suasana hati─karena tidak sesuai dengan ekspektasi. Bundanya bilang, kita tidak akan menjadi rugi hanya karena kehilangan seseorang yang egonya selalu ingin dituruti.
Menyimpan sesuatu hal dalam sunyi pun ternyata membuat hal-hal yang seharusnya mudah orang lain pahami menjadi kian sulit dipahami. Bentuk dari sebuah ikatan yang saling menyakitkan memang harus dibalas dengan cara melupakan. Terkadang, orang-orang salah mengartikan. Kekuatan cinta tidak akan pernah bisa di ukur meskipun terkadang penjabarannya bisa dibayangkan dengan suara hati.
Namun suara hati juga tidak sesederhana itu. Hati bisa menolak dan menyudahi, tapi ingatan? Ingatan tidak bisa menolak dan menyudahi. Ada beberapa momen dalam hidup yang harus diresapi, berhenti menebak-nebak alasan dan keadaan yang sudah terjadi, dan berhenti untuk terus memaafkan jika memang hati tidak mau.
Manusia tidak punya hati sebesar itu, terkecuali jika kamu memang manusia paling mulia yang tidak menginginkan kebencian dari sisi kehidupan mana pun.
Memulai semuanya, Jean mendapatkan hal yang bisa dan lebih menerimanya daripada sebuah kata yang menyakitkan. Dia manusia, dia perempuan, dia bisa memilih, dia bisa menolak, dan dia bisa mengutarakan apa isi pikirannya.
"Kamu mau pergi ke kantor hari ini?" tanya Bundanya, Indri Lia ketika melihat Jean mematut dirinya di hadapan cermin.
Kini, tak ada lagi Jeanarta pucat, pirang, dan albino. Melainkan, Jeanarta berambut cokelat gelap, dan terlihat lebih hidup meskipun kulit pucatnya yang membuat orang-orang merasa silau mendadak terpukau dengan kecerahan Jean.
Dia akhirnya bekerja di firma hukum milik Kakaknya, Nakula. Brata and Brother Firm adalah lembaga firma hukum terkemuka di Jakarta. Tidak heran, jika Jean lebih memilih bekerja untuk keluarga lagi.
"Iya, aku mau lihat ruangan aku, Bun. Kata Kak Nakula ruangannya udah siap, tapi kadang aku nggak suka tata letak yang orang lain atur buat aku." jelas Jean memasang blazernya.
Dan satu lagi, Jean saat ini adalah Jean yang lebih mencintai dirinya. Jika dia memang tidak pantas untuk seseorang, maka Jean akan membuat dirinya sendiri pantas.
"Papa tawarin katanya kalau kamu mau iMac baru nggak?" tanya Indri.
"Nggak usah," tolak Jean. Hubungannya dengan Rodeo Brata belum membaik, tapi setidaknya Jean bisa menerima apa pun pemberian Rodeo Brata sekarang. "Kata Kak Nakula yang di kantor juga masih baru."
"Papamu mau kasih hadiah katanya, buat ruangan baru."
"Ya apa pun itu, jangan yang mahal. Buang-buang uang aja."
"Kursi kerja mau? Katanya biar punggung kamu nggak encok, Papa bilang kalau kamu udah tekun sama kasus nggak akan ingat pulang. Atau mungkin, sofa bed buat tidur?" tanya Indri lagi.
Indri memang sudah terbiasa menjadi tukang pos─pengirim pesan antara ayah dan anak itu.
"Aku kerja bukan buat tidur, Bun..." jawab Jean dengan lelah.
Indri meringis kaku. "Ya memang kamu mau kerja terus menerus? Kamu juga nanti ada capeknya, makanya Papa bilang kursi kerja atau sofa bed─"
"Ya Tuhan.." erang Jean malas menatap Bundanya yang kini tengah menyengir. "Apa pun itu, yang bermanfaat." potong Jean.
Indri mengangkat jempolnya ke atas. "Oke, kalau gitu kan Bunda nggak pusing. Papa kamu itu cerewet, tanya-tanya terus kamu mau hadiah apa."
"Padahal aku nggak minta."
![](https://img.wattpad.com/cover/216036040-288-k922722.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Let Joy Be, Your Heart's Name. | TAMAT
RomansaAnkatara Pravinda Arjanta adalah penyanyi dengan sifat yang seenaknya. Sejak debutnya delapan tahun yang lalu, Prav sudah mengganti managernya ribuan kali. Tidak ada yang tahan menjadi manager dari penyanyi dengan temperamental gila itu. Hingga akh...