5. Tutor di Hari Libur

78 17 3
                                    

Sejujurnya Fero sudah memimpikan bermain PS di kamar Dimas sehabis mereka lari pagi di lingkungan kompleks sebelum ponselnya berdering berkali-kali sepanjang dirinya mandi untuk menyegarkan tubuh dari keringat yang menumpuk. Menemukan benda pipih itu kembali berbunyi dengan nama Hana tertera di sana dan Fero tahu bahwa tidak akan ada hari yang baik jika gadis itu menghubunginya berkali-kali. Dengan handuk yang masih melilit di pinggang dan beberapa tetes air dari rambutnya sehabis keramas masih membasahi dada bidangnya yang telanjang, cowok itu mendengkus seraya merespon telepon dari gadis aneh ini.

"Apa?!"

"Ro, gawat," bisik gadis itu yang membuat teriakan Fero jadi begitu kontras dengan suara pelan Hana.

Cowok itu terkesiap dengan dahi mengerut. "Apaan? Gue mana tahu soal kegawatan versi lo," balas Fero, menarik handuk kecil yang berada di dekatnya dan mulai mengusapkannya ke rambut.

Terdengar decakan gadis itu, sebelum Hana menjawab. "Pokoknya hari ini gue tunggu di Kafe A, lo cari aja dah di sekitaran jalan Sucipto. Kita mulai tutor 'sialan' ini. Anjing, males gue males, tapi Bokap gue ngamuk dan minta gue buat buktiin omongan gue soal tutor yang nggak di hari sekolah itu kapan. So, gue tunggu di sana jam 11 siang, ya!" lantas telepon itu terputus secara sepihak. Mengabaikan pendapat Fero yang masih ingin protes karena dia bahkan tidak dapat mengajukan perpindahan waktu kerja, alih-alih menuruti murid terpaksanya itu untuk belajar jam 11 siang di hari Sabtu yang tau-tau mendung bagi Fero.

Masih dengan handuk yang melilit di pinggang dan raut wajah berubah jengkel, cowok itu tengah mencari pakaian untuk pergi menemui Hana hari ini sebelum pintu terbuka dan ternyata Dee lah yang masuk bersama Tiffany di belakang gadis itu.

Fero menoleh seraya menahan handuknya dan bola mata yang hampir keluar. "LO BERDUA NGAPAIN DIEM? TUTUP PINTUNYA, JIR!"

Tiffany buru-buru menarik pintu dengan ledakan tawa Dee membuat Mama datang menghampiri karena sempat mendengar teriakan nyaring Fero yang cukup jarang didengar oleh anggota rumah mereka. Masih dengan detak jantung yang sempat berhenti, cowok itu terduduk dan menatap pintu berwarna hitam di depannya dengan nanar. Dia sungguh merasa bahwa panggilan dari Hana tadi seakan mengawali hari sial Fero di Sabtu yang harusnya menyenangkan ini.

***

Gadis itu sebetulnya selalu mempunyai kegiatan penting di hari Sabtu, yaitu pergi ke sanggar tari yang ada di daerah Jakarta Pusat, tepatnya di belakang Planetarium Jakarta bersama Kala yang pukul 10 pagi nanti datang menjemputnya. Namun di pagi hari yang harusnya menyenangkan, Papa masuk ke kamarnya dan menagih soal kegiatan tutor bersama si murid pintar di kelasnya. Siapa lagi jika bukan Khalid Alfero. Bahkan dibandingkan cowok itu, harusnya Tiffany lah yang lebih pantas belajar bersama Hana. Namun Papa tahu bahwa anak perempuannya itu bahkan tak akan bisa akrab dengan perempuan, terutama saat mendengar kalau si juara 2 di kelas yaitu Fero merupakan ketua kelasnya yang tegas dan bertanggung jawab.

Jujur, jika bukan demi terus bergabung bersama kelompok sanggar tari Cikini. Pasti Hana tak akan mau belajar bersama cowok bermata sipit dan nyebelin itu. Apalagi ini hari Sabtu! Oh, astaga, membayangkannya saja sudah membuat Hana tak nyaman.

Selepas memakai sepatu kets putihnya, gadis Jenggana itu pamit dengan Bi Tami yang tengah menyapu halaman rumahnya sebelum berlari kecil mendatangi ojek online pesanannya yang baru saja sampai. Dengan ponselnya yang mengetik balasan untuk Fero karena cowok itu tahu-tahu sudah sampai, Hana pun kini menikmati pemandangan kota Jakarta di hari libur yang tak begitu padat dari hari biasanya namun tetap saja ada beberapa titik kemacetan yang membuat perjalanannya pun tidak sesuai harapan karena dia terlambat sepuluh menit dari janjian mereka pagi ini.

Hell(o)veTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang