4. Sebuah Kesepakatan

86 16 2
                                    

Pagi itu akhirnya Fero tidak telat masuk sekolah. Cowok itu sudah rapih mengenakan seragam muslim nya dengan lengan yang digulung hingga siku, dan celana abu-abu yang mulai sedikit di atas lutut namun masih dapat ditolerir oleh guru tata tertib sekolah. Fero dengan segera menghabiskan sarapannya, terutama saat suara Dee yang cempreng menyapu telinga Fero yang ingin sekali tenang di hari yan seharusnya penuh keberkahan tersebut. Dia menemukan sahabatnya itu yang belum mengenakan kerudung segi empatnya dengan membiarkan rambut panjangnya tergerai, pun melirik Ina yang menggerutu dengan kerudung acak-acakan dan Ano yang lebih dulu sampai di depan rumah Fero.

"ANO IH! UDAH GEDE JUGA!!" gerutuan Ina yang sepertinya habis dikerjai oleh kembarannya itu, membuat derai tawa Tiffany terdengar ketika gadis yang memakai seragam paling beda di antara lainnya datang mendekat.

"Kali ini apa?" tanya perempuan itu sambil membenarkan ikatan rambutnya.

Ina cemberut. "Kerudung gue, Tiff. Asli, dah, nyebelin banget ini cowok. Kagak inget umur!" omelnya.

Ano nyengir lebar. "Sori, adikku. Tapi kalo nggak ngisengin lo, rasanya nggak seru. Ya, kan, Dee?" cowok itu melirik Dee yang kini mulai memasang kerudung segi empatnya saat Dimas datang dan sempat menegur cewek itu akibat lagi-lagi belum mengenakan kerudung padahal ini hari Jum'at.

"Iya lah. Gue aja kalo nggak manggil Fero pagi-pagi, rasanya kurang afdol."

Fero berdecak. "Kurang, kurangin, deh. Telinga gue beneran perlu ke THT," katanya seraya memimpin kelompok persahabatannya menuju halte bus untuk menunggu kopaja—kendaraan mereka kalau sedang berangkat maupun pulang sekolah. Kebiasaan ini sudah terjalin semenjak SMP, dan baik Fero, Dimas, maupun Ano masih belum diperbolehkan membawa kendaraan pribadi selagi mereka belum memiliki SIM. Sehingga tidak heran bahwa kadang ketiga cowok itu mendapat ledekan dari beberapa teman cowok mereka karena tidak membawa motor ke sekolah. Fero dan Dimas sih orangnya tidak pedulian, tapi soal Ano bakal beda lagi. Cowok dengan gigi kelinci itu bakalan mengamuk dan membuat anak-anak cowok yang meledeknya diam seketika.

Serius, deh. Marahnya orang penuh humor itu serem banget.

"Eh, Ro. Semalem tumben tidur duluan. Padahal permainan kita semalem tuh seru abis!" seru Ano saat mereka baru saja naik ke dalam bus kota yang untungnya tidak terlalu ramai. Sehingga ketiga perempuan bisa duduk di kursi, sedangkan para laki-laki berjaga di depan tiga perempuan tersebut.

Fero menoleh dan melupakan buku elektronik sebagai bahan bacaannya untuk pagi yang sibuk ini. "Yah, sori. Gue capek banget kemarin, jadi mau langsung tidur."

"Tumben," kali ini Dimas yang menyahut. "Lo tuh bukan tipe orang yang mudah capek, Ro. Walaupun kelelahan, pasti lo bakal lari ke game bareng kita berdua," ucap cowok yang sebetulnya paling diam tersebut.

Fero mengusap dagunya seraya terkekeh demi melupakan apa yang mengganggunya semenjak kemarin. "Ya, ada deh. Soal Hana pokoknya."

"Hana ngapain lagi, Ro?" Ina pun bertanya penasaran. Melupakan obrolannya dengan Dee dan Tiffany soal drama Korea yang akhir-akhir ini tengah hangat dibicarakan.

"Oh, gue belum cerita, ya?" Fero malah balik bertanya, mengingat-ingat apakah kemarin dia sudah bercerita mengenai permintaan guru BK mereka atau belum. Melihat Dee yang menggeleng paling semangat dan berseru tak sabaran. Fero tersenyum merasa bersalah. "Sori, deh. Pokoknya kemarin tuh, pas gue dipanggil ke ruang BK, Bu Tiwi minta gue buat bantuin Hana soal akademiknya. Terus minta gue buat jadi temen si Hana."

"Hah?" mulut Dee menganga lebar. Ibaratnya kartun, sekarang pasti rahang bawah Dee sudah menyentuh lantai dan bola matanya keluar saking kagetnya. "Sumpah? Udah kayak di novel aja, jir. Jangan bilang, lo kayak tutor dia gitu?" dia bertanya dengan menyelidik. Tetapi Fero tahu bahwa sahabatnya itu pasti sudah memiliki berbagai macam bahan ledekan untuk menggoda Fero jika cowok itu sudah mulai dekat dengan Hana.

Hell(o)veTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang