29. Kembali Bertemu

56 14 2
                                    

Selama perjalanan ke makam yang disebutkan Diana kemudian dia minta alamatnya melalui Kala, Fero merasa cemas karena dia takut jika perempuan itu kembali menghilang. Sungguh, Hana ini benar-benar merepotkan. Ayolah, mengapa perempuan itu harus menghilang ke sana kemari dan tidak mencoba untuk diam di satu tempat saja? Atau Fero yang mungkin kehilangan kesabarannya, merasa bahwa jika bertemu dengan gadis itu nanti, dia akan menegomeli gadis itu sampai telinganya pengang sekalian. Tetapi sebetulnya, Fero hanya terlalu cemas sampai rasanya ingin marah tapi juga tidak. Ingin memberi gadis itu ceramah panjang kali lebar tapi sepertinya tidak. Karena yang akan cowok itu berikan—

"Ck, di mana sih?" lelaki bermata kecil itu mulai masuk ke area makam dan mencari blok F karena Kala yang memberitahukannya. Tetapi dari segala tempat yang Fero lihat, tidak ada gadis itu. Kakinya berhenti di gundukan tanah salah satu makam yang tampak paling bersih di antara makam-makam lainnya di sana. Dia menemukan bunga mawar putih yang masih baru dan segar, dengan tanah yang terasa lembab seakan baru saja diberi air mawar oleh seorang pendatang.

Cowok itu mengela napas panjang, berdecak. "Kenapa waktunya gak pernah pas, sih, Han?"

Di lain sisi, gadis berlekung mata tajam itu keluar dari area pemakaman setelah bertemu dengan Ibunya. Meskipun dia hanya diam di sana, meletakkan setangkai bunga mawar putih sebelum menyiram makam Ibunya yang kering terkena sinar matahari menjadi sedikit lembab dari air mawar yang dia beli di sekitaran makam. Perempuan itu tersenyum kecil, melirik sebuah motor asing yang sepertinya tidak ada di sana ketika Hana datang. Padahal parkiran kosong, tapi sepertinya ada orang lain yang datang berkunjung. Hana tidak terlalu perduli, tetap berjalan ke arah halte menunggu busway melipir. Sekarang dia tidak punya tujuan lagi. Bahkan dia melirik ranselnya dimana persediaan bajunya masih tertinggal di hotel bersama tasnya yang lain, meninggalkan semuanya karena dia terlalu terburu-buru pergi.

Berbicara dengan Diana ternyata membuat kepalanya menjadi pening. Perempuan itu masih sama egoisnya, meskipun Hana tidak mengelak bahwa dirinya juga egois. Tetapi Diana ... perempuan sialan itu benar-benar tidak tahu malu. Atau hanya Hana yang terlalu terbawa suasana? Tidak, Hana yakin bahwa dia tidak salah apapun. Baik dia dan Diana itu tidak salah. Tidak ada yang salah dari mereka berdua. Tidak ada yang salah ... kecuali Ibunya tidak pernah bertemu Papa. Lebih baik Hana tidak pernah lahir di dunia ini jika itu dapat memberikan kehidupan yang layak untuk Mama. Mungkin jika Mama tidak menikah dengan Papa, Hana tidak perlu lahir di dunia ini, dan Diana mungkin benar-benar dapat menikmati segala akses yang ada di hidupnya tanpa harus merasa bersalah atau menjadi korban dari kesalahan orangtua yang membuatnya dirundung kebencian orang lain.

Sejak awal, semua ini memang salah Hana.

Gadis itu menatap sepatu ketsnya yang kotor. Berlari dari gedung Sabrina ternyata membuat lututnya pegal. Kebodohannya begitu menempel sampai dia tidak bisa berpikir jernih. Selama ini segala kesalahan yang ada dihidupnya adalah karena dirinya sendiri. Dari mulai Mama yang diam-diam menyimpan segalanya selama 3 tahun sebelum itu terbongkar di depan Hana. Kemudian Diana yang diam-diam mengenal Papa maupun Mama karena ketiganya pernah bertemu. Kenapa semua orang tidak ada yang mau melibatkannya? Apa itu karena Hana yang kurang kompeten? Hana yang bodoh.

Dia jadi merasa bersalah pada Fero. Iya, lelaki itu selama ini hanya dia manfaatkan agar Hana tetap berada di sanggar tari. Dia memiliki perjanjian dengan Papanya karena pria itu berniat mengeluarkannya dari sana jika Hana terus menerus berontak. Maka dia harus apa? Merelakan tari yang bahkan sudah menjadi bagian dari hidupnya sejak lahir?

Jelas tidak akan.

"Hana, kamu dengar ya. Kamu itu bebas mau jadi apa aja, loh. Jangan dengerin Papa mu. Biar nanti Mama yang ngomel kalau Papa berani larang Hana buat nari. Liat aja, nih," wanita itu menunjukkan otot lengannya yang terbentuk dari kegiatan gym-nya selama ini, tersenyum lebar. "Papa mu yang kerjaannya di kantor, mana bisa lawan Mama?"

Hell(o)veTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang