28. Gadis Itu Menghilang

57 12 7
                                    

Sepanjang kegiatan wawancara yang diundur selama 10 menit, Fero segera pergi sehabis kegiatan itu selesai untuk mendatangi ojek onlinenya yang telah menunggu. Meminta maaf pada Ina akibat harus pulang sendiri karena yang ada di pikirannya sekarang adalah Hana. Gadis Jenggana itu terlalu penting untuknya sekarang sampai segala hal seakan-akan menjadi penghalang untuknya mendekati gadis itu.

Dia sempat bertanya pada Kala tentang keberadaan Hana dan pria itu hanya menjawab bahwa kemungkinan besar Hana masih berada di rumah, bersembunyi di kamar—namun itu belum tentu benar. Karena Kala bilang, bahwa Hana bisa saja selesai mengemas segala keperluannya untuk menyendiri sebelum pergi lagi seperti yang terjadi 1 setengah tahun lalu ketika Ibunya meninggal. Perjalanan ke rumah perempuan itu yang terhambat oleh kemacetan membuat Fero merasa jengah.

Cowok itu sesekali kembali menghubungi perempuan itu, namun yang selalu ia dapatkan adalah suara operator yang mengatakan ponsel itu tidak aktif. Sehingga sekarang, pada pukul setengah 6 sore lebih. Cowok itu berdiri di depan rumah bernuansa hangat dengan lampu-lampu yang berpendar. Di sana, dia langsung bertemu dengan Pak Satpam tetapi pria paro baya itu hanya menggeleng pelan.

Hana sudah pergi lagi semenjak satu jam yang lalu.

Fero mengela napas, berbalik menuju halte sampai dia menemukan motor Kala mendekat dimana pria itu mengendarainya dengan pelan. "Hana udah kabur lagi, ya?"

"Lo kemana emang?" cowok itu malah balik bertanya. "Lo gak langsung nemuin dia? Parah," ucapnya, setengah tidak menyangka bahwa Kala bahkan tidak lebih dulu menemui Hana padahal cowok itu yang harusnya lebih dekat dengan gadis itu dibandingkan dirinya.

Kala berdecak. "Lo bahkan gak tau, kan, kalo gue emang gak pernah deket sama sepupu gue itu sejak awal," cowok itu malah membicarakan hal yang tidak pernah Fero sadari. Selama ini, Fero hanya tahu bahwa Kala merupakan orang terdekat Hana di sekolah. Tetapi kenyataan mereka menjadi dekat setelah kejadian menyakitkan yang menimpa keluarga gadis itu, Fero menjadi bungkam.

"Lo mau main ke rumah gue dulu? Sambil dengerin gue cerita. Biar lo makin jelas apa yang Hana lakukan setelah Ibunya meninggal," dia diam sebentar, tersenyum tipis. "Cewek itu juga kayak gini satu setengah tahun lalu. Selama 1 bulan gue nyari dia gak ketemu, dan dia balik sendiri kayak orang baru lahir. Lo pasti bakal ketawain gue karena ya, gue tuh sama dia musuhan karena kita sama-sama berada di sanggar tari modern dan dia sombong cuma karena lebih jago dari gue. Asli, Hana yang dulu gue kenal beda banget sama Hana yang lo kenal, Ro."

"Oke," Fero menyetujui Kala, mengangguk singkat. "Ayo, ceritain semuanya biar gue bisa lebih kenal dia."

Lelaki tinggi itu menatap Fero dengan smirk kecil, mengejek. "Lo suka sepupu gue, ya?"

"Gue pergi."

"Oke, oke, gue bercanda! Ayo ke rumah gue. Deket kok, kepeleset nyampe," katanya, berjalan ke rumah di samping kediaman Hana. Dimana rumah ini sedikit lebih sederhana namun lebih terasa hidup. Karena kediaman Hana terlalu sepi untuk naunsa rumah dan halaman yang penuh kehangatan. Sekarang Fero menyadari kenapa rumah cewek itu dipenuhi bunga tulip kuning.

"Ibu suka bunga tulip kuning, ya?" cowok itu sebetulnya hanya iseng bertanya saat dirinya dipanggil ke ruangan Bu Tiwi sewaktu kelas 10. Ia direkomendasikan untuk ikut serta dalam lomba debat Bahasa Inggris bersama salah satu siswa dari IPS 2.

Bu Tiwi yang sedang mengambil berkas di almari menoleh singkat, terkekeh pelan. "Iya. Kenapa memang, Alfero?"

"Oh, nggak apa-apa, sih, Bu. Saya emang orangnya banyak tanya. Kalau kata sahabat saya, saya orangnya bawel banget. Nanya mulu. Tapi sebenarnya saya memang pengin tahu banyak hal, makanya saya sering bertanya tiap ada presentasi di kelas."

Hell(o)veTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang