24. Hari Pertama Tanpa Dia

51 12 1
                                    

Rasanya kehidupan Fero masih sama saja. Pagi hari ada Dee yang berisik, perjalanan ke sekolah menggunakan bus kota yang sumpek di hari Senin yang sibuk, lalu sampai di kelas yang tak kalah ramai dengan pasar. Tetapi mungkin, ya, mungkin, cowok itu tahu bahwa tidak ada lagi gadis yang harus dia perhatikan lebih di antara teman sekelasnya yang lain. Sosok itu harusnya sudah mulai sedikit diterima di kelasnya. Apalagi Rachel dan Tiffany menjadi dua orang yang paling akrab dengan Hana akhir-akhir ini, semenjak ketiganya berada di kelompok yang sengaja Fero tulis saat pembagian waktu itu. Bisa dibilang, cowok itu cukup perhatian untuk si gadis Jenggana itu, kan?

Namun tetap saja, dia merasakan ada yang kurang. Ada satu yang kurang baginya. Orang yang biasanya suka membuat kepala Fero pening jika berulah di hari Senin. Tetapi pagi itu, Hana dengan biasanya, duduk di kursi paling belakang lalu berniat tidur tapi Rachel lebih dulu mengajaknya mengobrol. Sepertinya Rachel memang bercita-cita ingin dekat dengan Hana atau itu cuma usaha Fero demi mencari teman yang cocok buat gadis itu? Entahlah, belakangan ini diam-diam Fero terlalu ikut campur. Dia harus mulai membuat batas kembali karena sejatinya hubungan mereka terlalu rengang untuk tiba-tiba menjadi lekat.

Cowok itu berniat keluar membeli minuman di koperasi saat Ari memanggil.

"Mau kemana?" cowok itu kembali mengikuti Fero. Kalau dipikir lagi, akhir-akhir ini Ari memang terlalu menempel dengan Fero seakan-akan dia ingin mengatakan pada dunia bahwa Fero adalah temannya. Tapi apa itu hanya perasaannya saja? Lagipula, sejak kelas 10 Ari memang sudah akrab dengannya dan mereka sudah seperti sepasang sahabat dalam artian yang mendadak. Sepertinya Fero yang terlalu pemikir dan overthinking belakangan ini.

"Koperasi."

"Oh, gue nitip itu dong. Roti keju sama voucher wifi, Ro. Lupa beli."

Cowok itu mendelik. "Jadi lo deketin gue karena mau nitip jajan? Asem," meskipun jengkel, cowok itu menerima selembar uang 10 ribu dari Ari untuk membeli roti keju dan voucher wifi karena sekolah mereka tidak benar-benar menerapkan wifi gratis. Mereka harus mengeluarkan gocek sebesar 5 ribu untuk sebuah voucher wifi yang umumnya digunakan para siswa mendownload banyak film sampai anime. Beberapa juga menggunakan fasilitas tersebut untuk bermain games karena dengan 5 ribu rupiah, mereka mendapatkan kecepatan wifi yang maksimal dan tak ada batas kuota dibandingkan membeli paket internet. Yah, dari segala hal yang bagi orang merugikan, selalu ada jawaban lain yang ternyata cukup baik dari beberapa yang terlihat buruk. Artinya tidak semua yang terlihat buruk itu memang buruk dan tidak semua yang terlihat baik itu memang baik.

Saat masuk ke koperasi, ia bertemu dengan Kala yang keluar bersama Ano. Menatap pemandangan itu, Fero mulai menjadi pemikir bahwa semua hal yang terlihat mustahil itu bisa saja terjadi. Lihat saja dulu Ano yang mengeluh karena tidak dapat berteman dekat dengan Kala, tapi sekarang dua orang itu sudah seperti amplop dan perangko jika sedang di sekolah. Sungguh aneh.

"Mau jajan juga lo?" Kala bertanya.

Sedangkan Ano tersenyum simpul. "Pasti beli minum, kan?" entah mengapa cowok itu bersikap seperti orang yang paling tahu.

Tapi memang Ano selalu tahu untuk beberapa hal mengenai kebiasaan sahabatnya. "Gue lupa bawa tadi. Makanya beli," balas cowok itu, lalu masuk ke dalam koperasi dan mulai mengambil minuman dingin di lemari pendingin dan beralih pada tumpukan roti dimana roti keju tinggal satu. Tangannya bergerak cepat mengambil roti itu namun tangan lain juga tak kalah cepat menyentuh roti keinginan Ari yang malang.

"Oh," Fero tersentak. Membiarkan Hana mengambil roti itu dan beralih pada Bu Tia si penjaga koperasi untuk mengambilkan voucher wifi. "Rotinya buat lo aja. Ari bisa makan angin," ia menjelaskan saat gadis Jenggana itu ingin berbicara.

Hell(o)veTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang