33. Cantik nggak?

5.4K 566 17
                                    

Allo~

Salam buat para pembaca, terutama para silent reader. Apa kabar, nih? Buat kalian para silent reader. Cuman baca tanpa ngasih vote atau komen sebagai apresiasi, asli itu nggak banget 😄 Aku harap kalian punya kesadaran masing-masing gimana caranya untuk menghargai penulis.

Bukan cuman di cerita ini aja, tapi semua cerita-cerita penulis lainnya.
-

Selamat membaca^^

Menyadari jika air matanya mulai turun, Lala segera menghapusnya. Ia mengambil napas panjang kemudian menghembuskannya perlahan. Dirasa sudah cukup, Lala mengambil remote, mematikan televisi. Lalu kembali ke tujuan awalnya.

“Laskar mandi bersih-bersih, ya.” Lala menyerahkan handuk dan pakaian yang diambil.

“Oke, Tante.” Laskar masuk ke dalam kamar mandi di dekat dapur.

Lala duduk di kursi bar, sambil menunggu Laskar dan kue matang. Tidak lama, kue di dalam microwave matang. Lala mengangkatnya dan memasukkan loyang berikutnya.

Laskar keluar dari kamar mandi dengan pakaian yang sudah terpasang di tubuhnya dengan rambut masih basah.

Lala sedikit tersenyum melihat Laskar. Anak itu terlihat sangat tampan. Dari wajahnya terlihat kemiripan dengan Keelan. Pasti orang tuanya juga cantik dan tampan.

“Bentar, ya. Tante mau angkat kuenya dulu,” kata Lala mengangkat kue loyang terakhir dari dalam microwave yang sudah matang.

Setelah mengangkat kue terakhir, Lala mengajak Laskar naik ke kamar Billa. Laskar hanya mengikut. Memasuki kamar Billa, Laskar langsung disambut dengan wangi bayi.

Di atas kasur sudah ada berbagai perlengkapan, serta baju Billa. Lala duduk di sisi ranjang dan Laskar di sebelahnya dengan sedikit menyerong.

Lala mengeringkan rambut Laskar dengan handuk, lalu menyisirnya. Rambut Laskar mudah diatur, tidak sulit untuk disisir. “Laskar nggak mau potong rambut?” tanya Lala.

“Nggak. Kalo dipotong jelek.”

Ini kedua kalinya Laskar merasa diperhatikan oleh seorang ibu. Sebelum-sebelumnya, Anya memang sering memperlakukan seperti ini, memperhatikannya dan mengurus ini itu untuknya. Namun terasa berbeda dengan perlakuan Lala. Rasanya lebih hangat dan nyaman.

Lala tertawa pelan mendengar respon yang diberikan. “Laskar mau pakai ini?” Lala menunjuk berbagai perlengkapan bayi di sana. “Harumnya enak. Harum bayi.”

“Nggak mau. Nanti nggak macho,” balas Laskar. Membayangkan jika ia memakai itu membuatnya bergidik.

Lala terkekeh. “Tau dari mana sama kata macho.”

“Om Keelan.”

Lala tersenyum. Tanpa bertanya pun ia sudah tahu. Pasti Keelan, tentu saja. “Udah selesai,” kata Lala setelah selesai menyisir rapi rambut Laskar.

Laskar melihat dirinya di kaca kecil milik Billa. Gaya rambut itu begitu rapi, ia merasa kurang cocok dan tidak menyukainya. Namun kali ini tidak apa-apa. Ia tidak akan mengubah menjadi berantakan karena Lala yang melakukannya. Ia suka diperhatikan seperti itu oleh Lala.

Ia berbalik, memberikan senyum tulus pada Lala hingga matanya menyipit. “Makasih, Tante.”

“Sama-sama,” balas Lala ikut tersenyum.

“Mau pake parfum?” tanya Lala lagi.

“Nggak mau.”

Laskar menolak. Pastinya parfum itu berbau perempuan, karena parfum milik Billa. Baunya memang enak, tapi jika dipakai olehnya, itu akan memudarkan jiwa laki-laki dalam dirinya.

Keelan, Lala dan BillaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang