50. Rutinitas.

6.5K 621 53
                                    

Halooo!!

Selamat membaca<33

“Tanggung jawab, lo. Kamar gue berantakan.”

“Lo juga tanggung jawab! Balikin game di Hp gue!” Laskar membalas perkataan Keelan, tidak kalah ketus.

“Lo duluan yang mulai, bocah,” decak Keelan, sedikit menendang kaki Laskar yang menggantung.

Tidak terima dengan tindakan Keelan, Laskar membalas dengan memukul laki-laki yang duduk di sampingnya itu. “Lo duluan!”

Keelan menggeram, “Mau gue aduin sama Mami kalo lo suka mukulin gue?”

Dengan kesal, Laskar berdiri di sofa, berniat menendang Keelan, namun pemuda itu lebih dulu menahan kakinya. Tidak bisa menggunakan kaki, Laskar berganti memukul tengkuk Keelan menggunakan tangannya, hal itu membuat Keelan meringis. Sebelum Keelan akan membalas, Laskar lebih dulu berlari menjauh dari sana.   

“Sini lo, bocah!”

“Lo yang maju, tua!” Laskar meniru nada perkataan Keelan.

“Lo berani sama gue?” Keelan benar-benar geram dengan keponakannya yang satu itu.

“Yang bilang nggak berani siapa, tua?”

Merasa benar-benar diejek, Keelan mengambil bantal sofa dan melemparnya ke Laskar, hingga mengenai kepala anak itu. Kemudian Keelan tertawa mengejek.

Uncle Keelan, Laskar!” Billa berseru kesal, melihat kelakuan om dan keponakan itu. Billa pusing melihat keduanya yang sejak tadi berdebat terus.

Keelan mendengus, melihat Laskar yang menjulurkan lidahnya mengejek. Jika ini rumahnya, maka Keelan akan membalas Laskar hingga anak itu meminta berhenti.

Billa melotot pada dua orang itu. Dia bangkit dari sofa, berjalan ke arah Laskar dan menarik tangannya. Laskar menolak, tapi Billa memaksa.

“Kamu harus minta maaf sama Uncle Keelan. Nggak boleh begitu, tau! Kamu nggak sopan, pukul-pukul orang besar. Nanti kalo Mama aku tau, kamu bisa kena marah.”

Laskar berdecak mendengar Billa menasihatinya. Dengan sedikit was-was, Laskar menurut begitu Billa menariknya pada Keelan. Keelan sendiri hanya duduk dengan punggung disandarkan, dan tangan terlipat di depan dada.

“Sekarang kamu minta maaf!” Billa menitah, layaknya bos. Tidak lupa, ekspresinya yang menggemaskan.

“Gue minta maaf,” ucap Laskar, menuruti dengan setengah hati.

“Nggak gue maafin,” balas Keelan, masih dengan wajah tanpa ekspresinya.

Uncle, nggak boleh gitu. Kata Mama, kita sebagai manusia itu, harus saling memaafkan. Allah aja memaafkan, masa Uncle nggak.”

Laskar menahan tawa melihat Billa menasihati Keelan. Keelan yang awalnya berniat mengerjai Laskar pun terpaksa mengangguk, karena tidak ingin mendengar lagi ocehan Billa. “Iya, gue maafin.”

“Nah, gitu. Lain kali jangan berantem, ya.” Billa memperingati layaknya seorang ibu. Hal itu mengundang decakan dari kedua laki-laki di dekatnya.

Berbeda dengan mereka, Lala sendiri berada di kamarnya. Perempuan itu tadinya berpamitan untuk berganti baju.

“Iya, Hallo? Ini siapa, ya?” Lala berbicara, menyahuti suara seseorang yang menelponnya.

Baru saja, dirinya mendapat panggilan dari nomor yang tidak dikenal. Awalnya Lala memilih untuk mengabaikan. Namun sekali lagi nomor itu menelpon, dan Lala pun menjawabnya, siapa tahu jika itu penting. Ketika ia menjawab, suara asing seorang perempuan menyambutnya.

Keelan, Lala dan BillaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang