Allo~
Maafin, ya. Karena beberapa hari ini gak Up >•<
_
Tatapan Billa berkeliaran mengelilingi rumah Keelan yang dapat dijangkau oleh matanya. Sesekali senyuman terbit ketika melihat sesuatu yang menarik.
“Uncle waktu kecil ganteng, ya,” ungkap Billa melihat bingkai foto keluarga Keelan.
“Sekarang gak ganteng?” sahut Keelan di belakang Billa. Dari tadi, ia terus mengikuti ke mana Billa melangkah, dan menjawab semua pertanyaan yang diberikan.
“Sekarang juga ganteng! Ganteng banget!” balas Billa, berbalik badan untuk melihat Keelan. Tingginya tidak sampai perut Keelan, mengharuskannya untuk tetap mendongak ketika berbicara. Itu terasa pegal.
Keelan mendengus pelan menyadari guratan tidak nyaman Billa. Ia berjongkok, menyamakan tingginya dengan Billa.
“Uncle itu ganteng. Ganteng banget,” tutur Billa. Tangannya bergerak, membingkai wajah Keelan tampan Keelan.
Keelan memegang tangan Billa, menjauhkannya dari wajahnya. Ternyata Billa pintar membuat orang-orang terbawa arus oleh perkataan-perkataannya. Pantas saja Laskar menjadi tidak betah berlama-lama dengan Billa.
“Bocil,” ejeknya menjawil hidung Billa.
“Bocil itu bocah kecil, kan, Uncle? Aku emang masih kecil.”
Diperhatikannya lekat-lekat wajah Billa. Billa terlihat cantik dan manis. Bentuk alis, matanya mirip dengan Lala. Hidungnya mancung, tidak mancung. Rambut panjang dan kulitnya putih. Bisa dibilang jika Billa adalah Lala versi kecil.
Billa mengulum senyum lebar di bibirnya. Kepalanya ia miringkan sedikit, dan berkata dengan kepercayaan diri penuh. “Iya, Uncle. Aku emang cantik. Mirip Mama, kan?”
Keelan mengangkat alisnya dengan ekspresi mengejek. “Siapa bilang?”
“Banyak yang bilang. Aku itu cantik. Mirip Mama. Aku kan emang cantik.” Billa membalas sambil mengibaskan rambutnya ke belakang.
Keelan mendengus pelan. Cukup heran dengan kepercayaan diri Billa. Apakah Lala juga seperti itu?
“Mau lanjut keliling?” tanya Keelan, kembali berdiri.
“Ayo! Mm, aku mau ke kamar Laskar. Boleh, kan, Uncle?”
Permintaan Billa dibalas anggukan singkat oleh Keelan. Billa tersenyum senang, menggandeng tangan Keelan untuk mengikuti langkahnya keluar dari ruang keluarga.
“Tangganya panjang,” lontar Billa ketika menaiki satu persatu anak tangga. Melihat ke bawah, sedikit merinding, membayangkan jika terjatuh dari atas.
Sampai di depan kamar Laskar, Billa mengetuk pintu lebih dulu, dan berbicara, seolah-olah meminta izin. Mengundang tatapan heran dari Keelan.
“Laskar! Aku izin masuk, ya!”
“Laskar gak ada.”
“Iya, Uncle. Aku tau. Tapi aku harus minta izin dulu. Kalo Laskar tau aku masuk kamar dia. Aku bilang udah minta izin. Kan, Laskar galak,” balas Billa, melangkah masuk ke dalam.
Keelan terkekeh pelan, dan menyusul Billa ke dalam.
Billa menyusuri setiap sisi kamar Laskar, menilik lamat-lamat ruangan dengan fasilitas lengkap itu. Warna kamar Laskar dominan berwarna biru dengan barang-barang bercorak robot-robotan.
Keelan mengambil duduk di atas kursi belajar Laskar sambil memperhatikan setiap gerak-gerik anak berbaju terusan itu.
“Robot itu lucu, tapi aku nggak suka. Aku sukanya Barbie. Barbie lebih lucu.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Keelan, Lala dan Billa
Подростковая литература[Follow sebelum membaca!] "Kamu apaan, sih? Jangan aneh-aneh, kamu masih sekolah." "Emang kalo sekolah, gak boleh jatuh cinta?" "Tapi nggak sama aku juga. Aku single parents. Udah pernah menikah dan punya anak. Lebih baik kamu cari yang seperentara...