37. Makan es krim.

5.2K 494 17
                                    

Allo~

Aku mau jadi author yang rajin up >•< Biar jadi author beneran.


“Aaaa … es krim kue!” Billa mengambil es krim mirip kue bolu yang diberikan oleh Gio itu. “Makasih, Uncle,” ucapnya senang. Sudah cukup lama ia tidak merasakan es krim kesukaannya itu.

Gio tersenyum gemas, mencubit pipi Billa. “Sama-sama.”

Gio beralih pada Gafi dan Laskar yang tengah bermain Handphone di sofa. Kedua anak itu sibuk dengan dunia sendiri, tidak mengindahkan sekitarnya. “Gafi, Laskar. Kalian gak mau es krim?”

“Mau-mau. Nanti aja, Pa,” balas Gafi kurang fokus.

“Kalo gak mau Papa yang makan.”

Gafi langsung duduk mendengarnya. Ia mengadahkan tangan tanpa mengalihkan pandangan dari Handphone.

Gio menggeleng, “Lepas Hp. Stop main. Waktunya mandi.” Kemudian Gio berlalu menuju dapur, dengan dua plastik di tangannya. Satu berisi es krim dan satu barang belanjaan titipan istri dan adiknya.

Tadi Lala dan Ava berniat keluar untuk membeli bahan-bahan membuat kue. Tetapi Gio menawarkan diri, kebetulan dia juga akan membeli sesuatu. Karena sekalian, Gio pun membelikan es krim untuk tiga anak-anak itu.

Gafi memasang wajah masam mendengar balasan berupa perintah itu. Namun tidak menuruti karena merasa sia-sia jika harus keluar begitu saja dari permainan.

Kernyitan tipis berbentuk horizontal terbit di kening Billa melihat Gafi dan Laskar yang duduk berdampingan di depannya. “Kak Gafi, Laskar. Ayo mandi. Kaya aku udah mandi, udah harum,” tuturnya tidak diindahkan.

Billa berengut, merasa tidak suka diacuhkan. Dia berdiri, meletakkan es krimnya di atas meja dan mendekat ke arah dua anak laki-laki itu. “Ayo bangun. Mandi dulu, biar harum.”

“Kakak! Nanti Aunty Ava marah, tau!”

“Iya, Bubbles. Tunggu dulu.”

“Ayo … kalo nggak, aku nggak mau main sama Kak Gafi!” Billa mengancam dengan jurusan andalannya.

Gafi mendongak sebentar, memasang raut masam. “Iya, Bubbles.” Dia kembali menatap Handphone, melanjutkan permainannya.

“Kak Gafi!” Billa melotot galak, meski kelihatannya tidak galak. “Tadi Uncle Gio bilang mandi, jangan main Hp. Jadi harus diturutin. Inget kata Mama, kata Uncle, kata Aunty, kata Nenek, kata Kakek. Nggak boleh bantah orang tua. Kalo disuruh itu harus nurut. Nggak boleh jadi anak yang nggak nurut sama orang tua. Nggak baik. Nanti Allah marah.” Billa menasehati.

Ini sudah menjadi kebiasaan jika salah satu diantara mereka ada yang melakukan kesalahan atau tidak menurut. Maka akan keluar kata-kata yang sering sekali mereka dengar.

Gafi mendongak, memandang adiknya menyerah. “Iya.” Gafi terpaksa keluar dari permainan dan berlalu dari sana, mencari sang mama.

Billa menerbitkan senyum lebar karena Gafi menurut. Lalu dia beralih pada Laskar, memandang Laskar galak sambil berkacak pinggang. “Laskar. Kamu juga mandi.”

“Nanti.” Laskar membalas malas. Permainan yang dimainkan ini milik Keelan, jika sampai turun rank, maka laki-laki itu akan marah.

“Nggak boleh gitu, Laskar.” Billa menggeleng tidak setuju. Billa bingung ingin berkata apa agar Laskar menurut. “Nanti Uncle Keelan marah kalo kamu nggak mandi.”

Decakan malas Laskar lakukan. “Nggak akan.”

“Aku bilang sama Mama, ya? Kalo kamu malas mandi. Kamu bau.” Perkataan itu secara spontan keluar dari mulut Billa.

Keelan, Lala dan BillaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang