48. Ngapel.

6.3K 610 59
                                    

Hallooo!!

Selamat membaca<33

“Bokap lo gak kerja, Lan?” Pertanyaan itu keluar dari mulut Beni, kala melihat mobil yang biasa digunakan Fahri terparkir di depan—terlihat seperti sehabis dicuci.

“Belum berangkat,” balas Keelan. Bersamaan dengan itu langkah lebarnya mulai berjalan, dengan Beni yang berada di sampingnya.

“Habis ini gue mau ke kampus. Jemput Elin. Gue anter lo dulu ke rumah. Mobil lo gue pinjem.” Beni bertutur.

Keelan mendengus, “Gak modal lo.”

Beni tidak tersinggung, dia malah tertawa, “Hemat bensin, bro.”

Keelan hanya mengangguk malas menanggapi.

Bensin habis bolak balik dari kampus ke rumah tidak akan membuat Keelan kehabisan uang. Dan hal-hal seperti itu sudah biasa dalam lingkaran pertemanan mereka. Meski terlihat tidak tahu diri, tapi hal itu sudah benar-benar biasa.

Rumah Keelan sepi, orang tua laki-laki itu tidak tahu di mana. Hanya samar-samar terdengar suara televisi yang entah dari mana berasal.

“Ini langsung ke kamar lo, aja? Bokap Nyokap lo mana?”

Pertanyaan Beni, dijawab, “Iya. Di kamar mungkin.”

Dengan begitu, mereka langsung menaiki tangga melewati beberapa kamar lainnya, hingga sampai di kamar Keelan.

“Buset. Kamar lo berantakan banget,” komentar Beni begitu memasuki kamar Keelan.

“Kerjaan Laskar,” balas Keelan datar, seraya menilik seisi kamarnya yang berantakan.

Kasur berantakan, seprai tidak ada ditempatnya dengan bantal-bantal di bawah. Lemari belajar berantakan, serta bungkus-bungkus snack berserakan di atasnya. Tanpa mencari tahu, Keelan tahu itu pasti perbuatan Laskar.

Beni meringis melihat wajah tanpa ekspresi Keelan, serta tangan laki-laki itu terkepal. Bocah bernama Laskar itu memang bisa sekali membuat Keelan marah.

Keelan membuang napas. Tanpa menunggu lama, dia membuka tirai dan jendela kamarnya, membiarkan sinar matahari masuk, juga agar menghilangkan udara pengap dan membawa udara baru yang segar.

Beni sontak memejamkan mata begitu cahaya matahari menyinari matanya. “Gue tunggu di bawah, ya, Lan. Mau ke Tante Anya dulu,” tutur Beni, melihat Keelan memegang kemoceng. Lelaki itu pasti akan membersihkan kamarnya.

Bukannya tidak ingin membantu, hanya saja, dia sudah rapi dan akan bertemu dengan kekasihnya. Nantinya tubuhnya berkeringat lagi, juga dia tidak berani di dekat Keelan yang sedang marah. Salah sedikit saja, akan terkena imbas.

Selepas Beni keluar, Keelan mulai membersihkan kamarnya yang berantakan, kemudian membersihkan diri sendiri. Dia pulang hanya untuk itu, lalu kembali lagi ke rumah Beni. Bahkan tas yang berisi hal-hal penting, ia tinggalkan di rumah Beni.

Beni berbelok arah menuju dapur, ketika telinganya mendengar suara-suara air. “Hai, Tante,” sapanya, melihat Anya tengah mencuci piring.

Anya menoleh sedikit, “Hai, Beni. Kamu ada di sini? Keelan juga?”

Beni mendekat, memilih duduk di kursi meja bar. “Iya, nemenin Keelan pulang.”

Anya tertawa pelan. Kata nemenin terdengar lucu di telinganya. “Udah dari tadi, ya? Kok Tante nggak denger.”

“Nggak, kita baru nyampe, kok. Itu Keelan lagi beresin kamarnya.”

Anya mengangguk. “Udah sarapan? Ayo sarapan dulu.”

Keelan, Lala dan BillaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang