Pukul satu siang dalam cuaca yang terang benderang Alita duduk dipinggiran teras belakang rumah Indra sambil menatap lurus ke arah kolam yang silau terkena pantulan sinar matahari. Alita merasa bosan harus melakukan aktivitas apalagi setelah pekerjaan rumah yang ia lakukan bersama ibu mertuanya telah selesai bahkan makan siang pun telah ia dahulukan meskipun belum sepenuhnya ada nafsu makan namun Alita memaksakan diri untuk makan meski hanya beberapa suap daripada kena teguran suaminya seperti malam kemarin menegur Alita yang mogok makan.
Alita sedih sekaligus kesal ditegur Indra dihadapan ibu mertuanya membuat Alita segera kabur dan menyembunyikan diri dibalik selimut untuk meluapkan semua kesedihan juga kekesalannya dalam sebuah tangisannya dan tangisannya semakin pecah saat Indra hampirinya dan memeluknya dari belakang sambil mengumamkan permintaan maafnya kepada Alita yang tidak mengerti kondisinya pasca kejadian yang menimpanya yang masih membuat hidup Alita terguncang.
"Kenapa aku bodoh sekali sih. Bisa-bisanya masuk perangkap manusia keji itu" gumam Alita dengan suara pelan.
Tiga hari pasca kejadian penculikan yang berimbas pada kahilangan calon buah hatinya belum Alita terima sepenuhnya. Alita masih percaya dan tidak percaya ada calon buah hatinya yang tumbuh di rahimnya namun terpaksa harus kehilangannya saat Alita berusaha menyelamatkan diri dari aksi bejat laki-laki yang Alita kira adalah orang baik dulunya.
Alita menarik nafas panjangnya untuk kontrol suasana hatinya kembali. Alita harus kuat dan Alita harus terima kenyataan yang menimpanya. Alita yakin pasti Tuhan punya rencana lain yang lebih baik ke depannya seperti apa yang terus Indra ingatkan kepadanya.
Alita menutup kedua matanya dengan tangan kanan yang menyentuh dadanya sambil menarik nafasnya beberapa kali supaya hatinya merasa lega namun begitu tangannya turun ke arah perutnya yang rata, kedua mata Alita kembali terbuka dan menatap perutnya dengan nanar.
"Alita masih belum kuat Ya Allah. Alita minta maaf" gumamnya bersamaan dengan air mata yang kembali turun.
"Adek bunda inget adek lagi" tutur Alita mengelus perutnya yang selalu membuat hatinya sesak menerima kenyataan calon buah hatinya telah pergi.
"Andai bunda tahu ada adek yang tumbuh di rahim bunda pasti bunda jaga dan lindungi adek sekuat tenaga bunda"
"Maafin bunda yang bodoh ini ya nak, bunda gak tahu kalau adek udah ada di perut bunda delapan minggu lamanya" lanjutnya menyadari kebodohan dirinya.
"Maafin papa juga yang telat sadar ada adek di perutnya bunda begitu papa lihat ada darah di lengannya saat nyelamatin bunda dari orang jahat itu" lanjut Alita semakin tergugu dalam tangisannya.
"Kami sangat terpukul kehilangan kamu nak, maafin kami yang tidak bisa jaga dan pertahankan adek kemarin" Alita menutup wajah dengan kedua tangannya untuk menyembunyikan tangisannya. Rasanya masih sesak untuk Alita terima dan hadapi kenyataan yang masih menyakitkan baginya sehinga Alita belum bisa menahan kesedihannya.
***
"Kasihan sekali kamu, nak" gumam Indira ikut menangis saat ia memperhatikan Alita dari kejauhan.
Indira tahu rasanya kehilangan dan rasanya begitu menyakitkan yang tidak mudah untuk dijalankan sesuai perkataan dan semangat orang-orang. Butuh waktu lama untuk terbiasa dan pulih kembali untuk itu sehingga Indira tidak banyak berkomentar akan sikap Alita yang masih naik turun. Indira pernah berada di dalam posisi Alita dan seiring berjalannya waktu, Indira percaya Alita akan tegar pada akhirnya sama seperti dirinya dulu yang ditinggal pergi anak dan suaminya tercinta.
Indira tidak sanggup untuk berdiri terus memperhatikan Alita dari kejauhan. Ia langkahkan kakinya menuju teras belakang dan hampiri Alita lalu memeluknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pemenang Hati
Romance"Jika kamu masih tidak nyaman dan merasa keberatan menikah dengan saya, saya tidak akan memaksa kamu lagi" "Maksudnya?" "Saya tidak akan memaksa kamu lagi untuk hidup bersama saya" "Maksud mas, kita berpisah aja gitu?" "Saya meminta dan menikahi...