Ditinggal berjam-jam ke kamar, Renjun pikir Haechan sudah pergi dari apartemennya. Namun, ternyata tidak demikian. Pria itu sedang bersantai menonton tayangan kartun dengan kaki menyilang. Wah ... sudah seperti apartemen miliknya sendiri, heh?!
"Mengapa kau masih di sini?" Renjun berjalan ke kulkas, mengambil susu kotak rasa stroberi favoritnya.
"Kubilang, aku tidak mempunyai tempat tinggal."
Renjun membalas cuek, "Dan aku juga bilang, itu bukan urusanku." Dia lalu mengangkat toples berisi brownies kering di atas kulkas. Memangkunya di sofa.
"Kemarikan!" Dia menunjuk menggunakan tatapan mata pada benda di tangan Haechan. Pria itu menyerahkan remotnya, membiarkan Renjun mengganti tayangan kartun menjadi serial drama.
Hening melanda, Haechan duduk gelisah. Pandangannya terus bergulir melirik Renjun. Dengan bimbang, dia memulai percakapan.
"Hei, kau tinggal sendirian di sini?"
Nahas, tidak mendapat jawaban. Haechan memainkan jemarinya, gugup. "Renjun-ah, begini. Aku tidak memiliki rumah dan sepeser pun uang. Aku sebatang kara. Tiga tahun ini aku hidup di jalanan."
Oh, malangnya. Renjun tertawa mengejek dalam hati. Cerita apa yang sedang dikarang pria itu?
"Jadi ... b-bisakah kau mengizinkanku tinggal denganmu?" Sebelum Renjun membalas, Haechan berujar lagi, "Aku bersumpah, aku akan membersihkan apartemenmu setiap hari, mulai dari menyapu, mengepel, mengelap jendela, dan apapun yang kau suruh, aku akan melakukannya. Janji!"
Maaf-maaf saja, Renjun masih waras untuk menerima pria itu hidup bersamanya. Dia menggeleng. "Aku tidak tertarik tinggal dengan orang yang pernah mem-bully-ku. Benci, kau tahu!"
Haechan ini sungguh tidak tahu diri sekali. Sudah ditolong, dimasakkan sarapan, dipinjamkan baju, lalu ingin menumpang hidup dengannya? Bagai benalu saja!
Lagi pula, yang Renjun tahu keluarga Haechan sangat kaya. Ayahnya adalah pejabat negara, sementara ibunya pengacara. Haechan merupakan anak tunggal di keluarga itu.
"Aku ... aku akan ikut membayar sewa!"
Terdengar sedikit menarik, pikir Renjun. Masalah bayar membayar begitu sensitif di otaknya. Lumayan juga jika harga sewa dibagi menjadi dua, apalagi ditambah bonus bersih-bersih apartemen. Gratis pula!
Di dunia ini siapa yang tidak suka gratisan, sih? Tidak ada!
"Apa pekerjaanmu?" Tanya Renjun kemudian. Gayanya sudah seperti kepala HRD yang tengah mewawancarai calon pegawai.
"Aku tidak bekerja. Hanya berjudi jika seseorang membutuhkan kemampuanku."
Renjun kecewa. Berjudi? Itu adalah pekerjaan buruk! Namun, apa bedanya dengan dia sendiri. Berdeham sesaat, dia kembali bertanya, "Berapa pendapatanmu sekali main?"
"Tergantung berapa nominal yang dipertaruhkan," balas Haechan, "Jika menang, mereka membayarku satu sampai lima juta won."
Wow, banyak juga. Bahkan melebihi bayarannya. Apa Renjun beralih profesi saja, ya?
"Itu kalau menang. Bagaimana kalau kalah?"
Haechan berdengung. "Kalau kalah ... aku digebuki. Seperti kemarin. Wajah lebam-lebam ini adalah karena aku kalah dalam permainan. Jadi, aku menggunakan tubuhku sendiri sebagai jaminan."
Merasakan bulu-bulu halus di kulitnya berdiri, Renjun menegakkan tubuh. Gila sekali! Bagaimana bisa Haechan membahayakan dirinya sendiri!
Dia memandang Haechan dengan sorot kasihan. Entah apa yang sudah dilewati pria itu, namun Renjun memiliki simpati yang luar biasa setelah mendenga ceritanya.
Usai terdiam beberapa waktu, Renjun menarik napas. "Oke, aku akan mengizinkanmu tinggal di sini dengan syarat, kau harus membayar sewa setengah, melakukan pekerjaan rumah, dan tidak mencampuri urusanku. Bagaimana?"
Lalu, perut Renjun kembali mulas ketika Haechan tersenyum tampan. "Aku setuju. Terima kasih," katanya, diakhiri dengan mendekap tubuh Renjun.
TBC
KAMU SEDANG MEMBACA
When We Meet Again - Hyuckren
Fanfiction[COMPLETED] [FOLLOW DULU SEBELUM BACA] Menemukan pria dari masa lalunya dengan wajah lebam tak karuan, Renjun terpaksa membawa pria itu ke apartemennya untuk mendapat pengobatan. Pria itu, Lee Haechan, adalah seseorang yang dulu mem-bully-nya habis...