Kira-kira, sekarang sudah setengah dua belas malam. Alih-alih pulang ke apartemen, mereka memilih berjalan-jalan dulu menyisiri suasana senyap perkomplekan di area bukit. Ini ide Renjun. Katanya, dia ingin melihat pemandangan kota dari atas. Haechan pun senang-senang saja menurutinya. Namun, alangkah bagusnya jika mereka saling bicara. Bukan sama-sama hening seperti suasana.
Maka, Haechan berdeham. Dia melirik Renjun, memulai pembicaraan. "Untuk pelukan tadi ... apa aku bisa mendapatkan alasan kenapa kau melakukannya?"
"Hanya ingin."
"Hanya ingin?" Haechan tidak mengerti.
Kepala Renjun mengangguk "Hum."
"Tapi aku merasa keberatan," aku pemuda Lee. Tidak puas akan jawaban sederhana pujaannya. "Bagaimana jika aku tiba-tiba menciummu lalu kukatakan, aku melakukannya hanya karena ingin?"
Bibir Renjun menipis. "Jika itu kau, aku tidak masalah."
"Jangan membuatku bingung." Haechan menarik napas pendek. Menendang bebatuan kecil dalam jangkauan kakinya. "Aku sedang serius sekarang."
"Aku juga," balas Renjun santai. Tidak tahu saja bahwa kedua tangannya sudah terkepal lemas di balik kantong jaket Haechan. "If you want it, try it."
Lantas, langkah mereka sama-sama berhenti. Keduanya saling berhadapan di tengah jalan sepi dengan lampu remang-remang. Kaki Haechan maju, mengikis jarak. Menatap dalam mata Renjun yang menariknya untuk mendekat.
Haechan mengelus lembut pipi Renjun menggunakan jempolnya. Tersenyum manis, dia berbisik, "I'll try it. With love."
Lalu, bibir mereka menempel dengan mata terpejam. Tangan Renjun semakin mengepal kuat di balik kantong jaket. Dia tegang, tetapi perasaannya berbunga-bunga. Sulit dijelaskan. Intinya, malam itu Renjun bahagia. Pun dengan Haechan. Pria itu tidak bisa menahan hasratnya gara-gara Renjun seolah memberikan lampu hijau.
***
Ada karakter Renjun yang baru Haechan pahami setelah malam bahagia yang mereka lalui. Sebenarnya, Renjun tidak jauh berbeda dengan dirinya: sama-sama menjunjung tinggi harga diri dalam mengungkapkan perasaan, alias gengsi. Hanya, Haechan sebagai pria dengan karakter dominan lebih berani sedikit untuk menurunkan ego.
Barangkali, Renjun terlalu malu menyatakan suka. Kesimpulan demikian Haechan dapatkan setelah berhari-hari mengamati Renjun. Sikapnya berubah menjadi perhatian dan lebih lembut. Bahasa cinta yang Renjun coba sampaikan membuat Haechan merasa tidak perlu mendengar kalimat ungkapan perasaan dari pemuda itu.
Semuanya sudah jelas. Mereka saling suka. Titik!
"Haechan-ah, sore nanti apa kau sibuk?" Tanya Renjun, mengalihkan perhatiannya sejenak dari kegiatan mengelap kaca jendela. Sementara, pemuda Lee sedang sibuk membersihkan debu-debu ruang tengah.
"Tidak, kenapa?"
"Mau menemaniku belanja bulanan?"
Haechan mengangguk semangat. "Ya, tentu. Aku akan menemanimu."
"Bagus," timpalnya senang. "Tapi sebelum itu, bagaimana kalau kita pergi menonton?"
"Tidak masalah. Anggap saja hari ini kita mau pergi kencan."
Renjun menoleh terkejut. "Kencan?"
"Iya ... bukankah menonton adalah salah satu agenda yang sering dilakukan pasangan?" Balasnya ragu sembari menggaruk kepala. Apa dia salah bicara?
Selanjutnya, Renjun tidak lagi membalas. Dari ekspresinya, dia kentara malu dan senang. Haechan yang melihat hal tersebut hanya bisa terkekeh gemas.
TBC
KAMU SEDANG MEMBACA
When We Meet Again - Hyuckren
Fanfiction[COMPLETED] [FOLLOW DULU SEBELUM BACA] Menemukan pria dari masa lalunya dengan wajah lebam tak karuan, Renjun terpaksa membawa pria itu ke apartemennya untuk mendapat pengobatan. Pria itu, Lee Haechan, adalah seseorang yang dulu mem-bully-nya habis...