Thirty

2.4K 320 9
                                    

Mendapat kabar meninggalnya sang ayah bagai sebuah batu besar menimpa dirinya. Begitu berat, begitu sulit untuk diterima. Ada sesal dalam benak selama melakukan upacara pemakaman. Di sana, Haechan hanya terdiam seperti patung memandangi peti ayahnya. Pemuda itu tidak menangis. Seperti air mata telah habis dia guyurkan sejak melihat jasad sang ayah dibawa mobil ambulans.

Di samping Haechan, duduklah Arin yang senantiasa menemani kesedihan mantan kekasihnya sedari tadi. Sedangkan Mingyu dan istrinya, mereka bertugas menyambut para tamu yang datang melayat.

"Noona, rasanya aku berada dalam mimpi," gumam Haechan, masih dengan pandangan lurus ke arah peti. "Kau lihat di sana? Itu foto ayahku. Mengapa mereka memasangnya? Ayahku belum meninggal!" Serunya, melibatkan perasaan sendu yang begitu dalam. Matanya memerah, namun tak dapat menangis. Arin menyerah. Akhirnya dia mendekap pria itu, memberi rangkulan kekuatan.

"Noona, tolong katakan bahwa ini hanyalah mimpi." Haechan menyembunyikan kepala di leher Arin, sementara tangannya ikut merengkuh erat-erat gadis yang menjadi sandaran kesedihannya. "Aku tidak sanggup ... aku tidak terima ayah meninggalkanku. Aku tidak membencinya, Noona, aku tidak membencinya!"

Arin mengusap-usap punggung Haechan. Dia tidak pernah melihat mantan kekasihnya sekacau ini. Haechan sedang rapuh, dan Arin paham bagaimana rasanya kehilangan seorang ayah. Makanya, dia tidak dapat membendung air mata sembari terus memeluk Haechan.

***

Setelah melewati hari-hari sendu, pemuda Lee berupaya tidak terlalu larut kehilangan sosok ayah yang begitu dicintainya. Keberadaannya sangat membekas hingga Haechan tidur di kamar mendiang ayahnya selama itu. Kini, dia bangkit untuk menghapus gulana. Keluar kamar, dia bertemu wanita yang kini menjadi sasaran kekecewaannya. Adalah ibunya, datang bersama Mingyu.

"Haechan," yang dipanggil melengos. Jangan harap dia mau menerima wanita itu lagi! "Nak, Ibu minta maaf."

Ucapan maafnya adalah ketidakbergunaan yang Haechan dengar pagi ini. Sungguh muak. Dia heran dengan kakaknya yang repot-repot menjemput wanita tidak tahu diri itu. Maka, dia menendang koper yang dibawa ibunya. Terlalu benci melihat kehadirannya di saat sang ayah sudah tidak ada.

Haechan menghampiri kakaknya. "Aku tidak tahu bagaimana bisa kau membiarkan dia masuk ke sini. Hyung, rumahmu ... menjadi kotor," desisnya, melirik sinis ke arah wanita itu. Kekurangajarannya membuat Mingyu sempat termangu. Sebelum sempat membalas, Haechan sudah keluar rumah tanpa sopan santun.

"Ya, kau mau ke mana?" Tanya Mingyu, mengejar sang adik.

"Aku akan pergi menemui kekasihku," jawab Haechan lugas dengan senyum miring. "Jangan mencariku. Aku akan pulang jika waktunya pulang."

Selanjutnya, pria itu melambaikan tangan. Berbalik, melangkah keluar dari gerbang. Sembari berjalan, tangannya dimasukkan ke saku jaket, sesekali wajahnya menampilkan smirk dengan memainkan lidahnya di dalam mulut. Sekarang, dipikirannya bukan lagi soal kematian sang ayah. Bukan pula kedatangan sosok ibu yang dahulu pergi tanpa pamit. Melainkan Renjun, laki-laki yang mengiriminya pesan suara berisi ancaman.

"Brengsek. Aku tidak tahu apa yang sedang kau lakukan hingga tidak menghubungiku beberapa hari ini. Aku muak, Haechan. Jika kau tidak berniat menjalin hubungan denganku, maka kita berakhir. Aku akan kembali pada pekerjaanku dan menemukan pria lain yang lebih tampan darimu."

Benar-benar sialan. Setelah mendapat kabar kematian ayahnya, dia juga mendapat pesan putusnya hubungan. Haechan menggelengkan kepala. Haechan tidak terima. Namun, bukan salah Renjun atas pesannya yang dia terima. Pemuda itu tidak tahu apa-apa. Tidak tahu bahwa Haechan telah kehilangan sosok penyayang dalam hidupnya. Oleh karena itu, dia akan meminta maaf dan menjelaskan semuanya. Pada Renjun, laki-laki pertama yang dicintainya.



TBC




Maaf ya gengs, aku belum bisa fast update untuk semua ceritaku. 😫🙏

When We Meet Again - HyuckrenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang