Mingyu nyaris melayangkan tangannya guna membogem wajah Haechan jika saja sang istri tidak tergesa-gesa menenangkannya. Menarik napas, pria tinggi itu mengalah. Membawa tubuh Haechan dalam dekap hangat seorang kakak yang menyayangi adiknya.
"Kau ke mana saja? Hyung sangat mengkhawatirkanmu."
Haechan menepuk-nepuk punggung Mingyu, lalu melepas pekukan. Dia merangkul sang kakak duduk di sofa. "Aku tahu. Kalau tidak, mana mungkin kau sampai mendatangiku ke Busan."
Pria itu mendengkus. "Kalau kau tahu, seharusnya hubungi aku segera! Lima bulan tidak ada kabar! Kau pikir bagaimana cemasnya aku?"
"Baik, baik. Aku minta maaf. Terpenting, aku sudah ada di sini untuk memenuhi permintaaan ayah kita, 'kan."
Tersenyum sendu, kedua kakak beradik itu saling menatap dengan mata berlinang. Mereka masih tidak menyangka, ayah baik mereka melakukan hal bejat hingga merugikan negara. Itu tidak termaafkan. Namun, bagaimanapun juga hubungan anak dan ayah di antara mereka sangat kuat. Mereka sama-sama mencintai sosok pahlawan dalam konteks keluarga.
Mingyu mengalihkan pandangan, melebarkan senyum melihat seorang gadis yang sejak tadi berdiri di belakang Haechan. "Arin, terima kasih sudah membawa Haechan kembali. Dia sangat bebal dan keras kepala. Selesai persidangan nanti, bagaimana kalau kita adakan makan malam bersama?"
Kepala Arin mengangguk semangat. "Setuju!"
"Tidak!" Haechan meliriknya, menyiratkan gadis itu untuk jangan menanggapi apa-apa lagi. "Tidak bisa, Hyung. Setelah persidangan, aku harus cepat kembali ke Busan. Paling lama, aku menetap di sini hanya satu minggu."
Kerutan heran muncul di dahi Mingyu. "Kenapa harus kembali? Tempat tinggalmu di sini. Kau juga harus menyelesaikan kuliahmu!"
Haechan menaikkan sebelah kakinya. Merespons santai tetapi kepalan tangan menandakan dia sudah tidak tahan. "Tidak mau. Aku sudah tidak ingin berkuliah lagi. Lagipula, aku memiliki pekerjaan di sana."
"Berjudi dan balap liar kau bilang pekerjaan?" Balas Mingyu jemu, mengurut hidungnya. "Jangan mencari masalah, Haechan. Kau akan meneruskan kuliahmu. Titik!"
"Hyung mau aku di-bully?! Kau pikir dengan menyandang status sebagai anak koruptor aku akan baik-baik saja? Mereka akan merundungku, menghinaku! Tidakkah kau berpikir sampai ke sana?!" Mata Haechan memerah. Dia meninggalkan ruang tamu, berlalu ke kamarnya.
Melihat itu, Mingyu hendak menyusul sang adik, namun ditahan oleh sang istri. Kemudian, Arin mengatakan agar dia saja yang melakukannya. Mingyu mengangguk, membiarkan gadis tersebut menenangkan Haechan.
***
"Pergi saja jika kau hanya ingin membujukku, Noona. Aku tetap tidak mau melanjutkan kuliah."
Arin tetap mendekat meskipun kalimat penolakan terlontar halus dari mulut Haechan. Dia duduk di sisi ranjang, memandang penuh teka-teki ke arah pemuda Lee yang sedang duduk di jendela kamar. "Cih, percaya diri sekali. Siapa bilang aku mau membujukmu? Kau melanjutkan kuliah atau tidak, itu bukan urusanku."
Haechan menoleh. "Lalu, kedatanganmu ke sini?"
"Aku mengantuk. Ingin tidur." Arin menarik kakinya, menyandarkan kepala di headboard. Menepuk-nepuk sisi kosong, gadis itu menyuruh Haechan berbaring bersamanya. "Kemarilah. Kau tidak mengantuk? Dari kemarin malam kau belum tidur."
Senyum tipis ditampilkan. Haechan beranjak naik ke ranjang, merebahkan dirinya dengan menggunakan paha Arin sebagai bantal.
"Noona, tolong buat aku tertidur," pinta Haechan sembari membawa tangan Arin berada di kepalanya. Dia butuh belaian kasih untuk dapat menenangkan batinnya.
TBC
KAMU SEDANG MEMBACA
When We Meet Again - Hyuckren
Fanfiction[COMPLETED] [FOLLOW DULU SEBELUM BACA] Menemukan pria dari masa lalunya dengan wajah lebam tak karuan, Renjun terpaksa membawa pria itu ke apartemennya untuk mendapat pengobatan. Pria itu, Lee Haechan, adalah seseorang yang dulu mem-bully-nya habis...