Eight

3K 444 23
                                    

Haechan datang ke bar di daerah Gangnam yang biasa dia kunjungi. Menemui Seo Johnny, si bartender sekaligus pemilik tempat tersebut. Haechan mencoba meminjam uang pada pria itu.

"Hyung, utangi aku lima puluh ribu won. Aku akan melunasinya saat sudah memiliki job berjudi. Segera."

Pri Seo tertawa. Kalau saja Haechan tidak dia anggap sebagai adik sendiri, maka botol kaca bekas minuman tidak segan dia layangkan pada kepalanya.

"Lebih baik kau mencari pekerjaan lain, Bear. Sejak kau merugikan klienmu hampir lima ratus ribu won, kau tidak dipercayai lagi untuk membantu mereka," katanya, secara gratis memberikan segelas wine kecil pada Haechan. "Oh, ya, kau sekarang tinggal di mana?"

"Aku tinggal dengan temanku. Kami membayar sewa bersama, tapi aku belum memiliki uang. Aku mendapat ancaman bahwa jika malam ini aku tidak memberinya uang, maka dia akan mengusirku, Hyung."

Menenggak minuman tersebut, mata Haechan sempat terpejam. Rasa perih mengalir di kerongkongannya.

"Itu lebih baik daripada kau tinggal di jalanan," kata Johnny bergurau, "Aku hanya bisa meminjamkanmu sedikit. Kau tahu istriku sedang hamil. Aku harus menabung demi kelahirannya."

Johnny mengasihkan 50 won pada Haechan. Tidak tega melihat hidup pria itu sebatang kara. Namun, apa daya dia juga memiliki masalah keuangan sehingga tidak bisa membantu Haechan lebih banyak.

"Saranku, mulailah mencari pekerjaan lain. Kau bisa menjadi pegawai part time di toko-toko swalayan, jika mereka sedang membuka lowongan pekerjaan. Berjudi terlalu bahaya, Bear."

Mengindahkan ucapan tersebut, pemuda Lee mengangguk. "Ya, Hyung, aku akan melakukannya. Terima kasih."


***




Renjun tidak memedulikan Haechan. Itu fakta. Akan tetapi, dia tidak bisa melihat seseorang sekarat. Pemuda Huang melebarkan mata saat dia keluar kamar tengah malam, lalu mendapati Haechan meringkuk kesakitan di sofa.

"Ya, apa yang terjadi padamu?"

Wajah Haechan lebam-lebam. Memar yang belum sembuh kembali terluka dengan setitik darah segar. Renjun cemas. Dia bergegas memgambil kotak obat-obatan di sisi televisi.

"Hei, maafkan aku. Aku gagal mempertahankan uang yang akan kuberikan untukmu. Mereka merebutnya. Tolong jangan mengusirku," ucap Hechan, suaranya parau.

Jika sedang baik-baik saja, Renjun tidak segan menoyor kepala pria itu dengan kasar. "Dasar tolol!" Makinya.

Di perjalan pulang, Haechan dikeroyok oleh orang-orang yang terakhir kali dia rugikan karena kalah dalam berjudi. Syukurnya, dia masih bisa bangkit untuk pulang menemui Renjun yang sekarang menjadi rumahnya.

Selagi pemuda Huang mengurus luka-lukanya, Haechan cuma diam, namun memperhatikan. Bagaimana telatennya pria itu selama mengolesi krim obat-obatan pada wajahnya agar dia tidak kesakitan.

"Jangan membahayakan dirimu lagi. Kau bisa saja mati," ucap Renjun, sama sekali tidak terpengaruh oleh tatapan intens pria di hadapannya.

"Kau mengkhawatirkanku?"

"Tidak," balas Renjun keki, "Hanya, jika kau mati maka aku kembali membayar sewa secara utuh."

Haechan terkekeh. Persetan! Baginya raut wajah si pemuda manis itu sangat kentara mencemaskannya.

"Baik, aku akan mematuhi permintaanmu. Jangan membahakan diri lagi," Haechan menepuk keningnya sendiri dengan senyum tengil, "Di sini, sudah kurekam jelas kata-katamu."

"Rekam ini baik-baik juga," lalu, Renjun pun melakukan hal yang sama. Dia menepuk-nepuk kening Haechan sedikit kasar. "Kau. Harus. Mencari. Uang. Yang banyak! INGAT, LEE HAECHAN! KAU MENUMPANG HIDUP PADAKU!"

Setelah berteriak, Renjun kembali ke kamarnya. Membuat Haechan mengumpat tidak percaya. Benar-benar pemuda Huang yang gila uang.




TBC



When We Meet Again - HyuckrenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang