8. Terlambat dan Hukuman

27.9K 3.1K 213
                                    

Alara terbangun ketika sinar mentari terasa menyinari tubuhnya, panas. Alara membuka mata dengan pelan, perlahan bola matanya membulat, menyadari di mana ia tidur. Alara segera mendudukkan diri dengan kepala yang sedikit pusing.

Alara memegang keningnya seraya berpikir. Kenapa ia bisa tertidur di balkon. Kedatangan cowok menyeramkan itu menyeruak masuk ke dalam ingatan Alara, tapi ke mana perginya cowok itu? Apakah Alara cuma mimpi? Tidak ada siapa-siapa di sana, kecuali ia seorang diri.

"Apa aku cuma mimpi?" Alara beranjak berdiri. Sebelum masuk ke kamar, ia sempatkan berjalan mendekati pagar balkon. Benar, tidak ada siapa-siapa, apalagi cowok menyeramkan itu.

"Ternyata cuma mimpi. Cowok jahat itu gak ada di sini," ujar Alara seraya mengusap dada dengan pelan. Ia merasa lega.

Alara masuk ke dalam kamar. Saat melihat jam yang ada di dinding, Alara dibuat kaget. Ia teringat dengan sekolah. Buru-buru Alara lari ke dalam kamar mandi. Ia harus bersiap dan tetap datang ke sekolah walaupun terlambat.

"Karena mimpiin cowok jahat itu dateng ke sini, aku jadinya telat," dumel Alara dari dalam kamar mandi.

***
Alara telah bersiap dan sudah rapi dengan seragam yang melekat pada tubuhnya serta rambut yang ia ikat satu ke atas. Ia mematut diri di depan cermin. Saat melihat pewarna bibir, ia jadi ingin mencoba memakai itu. Tangan Alara terulur menyentuh benda itu. Ia buka tutup lip itu dengan hati-hati, takut tumpah dan mengenai seragamnya. Ia pakaikan pada bibir.

Alara memajukan wajah mendekat pada cermin. Ia memasukan kembali dan menutup lip dan meletakkan di atas meja rias itu. Alara senyum lebar melihat bibirnya sedikit lebih cerah daripada biasanya, yang terlihat selalu pucat.

"Selesai, aku harus berangkat." Alara menyambar tas yang ada atas meja rias, ia yang meletakkan di sana agar gampang mengambilnya. Alara berjalan keluar dari kamar, menuju ruang tengah, dekat Bi Wati berada sekarang.

"Bi, Alara berangkat dulu." Alara berpamitan pada Bi Wati yang tengah membereskan ruangan itu, dengan sebelah tangan memegang kemoceng.

Bi Wati menoleh dan tersenyum melihat keadaan Alara semakin terlihat pulih. "Iya, Non. Bi Wati rasa, Non Alara udah telat," ujarnya memberitahu.

"Alara aja, Bi. Alara rasa juga gitu. Tapi gakpapa deh, Alara berangkat dulu." Alara menyalami dan mencium punggung tangan Bi Wati, setelahnya berjalan cepat keluar dari rumah, menuju Pak Raden yang ada di mobil.

Bi Wati menatap punggung Alara yang semakin menjauh dengan tatapan sendu. Banyak yang ia sembunyikan dari gadis itu. Andai ia bisa bicara dan tidak takut dengan ancaman, sudah lama ia beritahu semua orang yang ada di rumah ini, terutama sang majikan. Tapi ia tidak punya nyali.

"Maafin Bi Wati, semoga suatu saat ingatan kamu bisa kembali, kamu akan tau siapa dalang dibalik semua ini."

***
Aldevano memarkirkan motor sport miliknya di parkiran sekolah. Hanya ia sendiri yang datang, kedua sahabatnya sudah berangkat duluan. Tapi itu perintah mutlak darinya, ia tidak suka ditunggu, apalagi tengah tidur nyenyak waktu pagi tadi. Jadilah manusia kembar itu berangkat duluan dan meninggalkan dirinya sendirian di markas.

Helm fullface ia buka. Ia letakkan di atas motor. Aldevano dengan santai melangkah masuk ke dalam. Saat sampai di sana, seorang guru piket tengah bersedekap dada menatapnya.

"Yang telat silakan berbaris di depan tiang bendera!" perintahnya seraya berjalan menuntun Aldevano ke arah tiang bendera berada. Jika tidak ia tuntun, tentu murid satu itu akan kabur.

Aldevano berdecak malas di dalam hati. Dengan rasa terpaksa, ia berjalan menuju tiang bendera, dan berdiri di sana. Jika bukan karena malas menambah poin di buku kasus, sudah sejak tadi ia kabur ke belakang sekolah.

Alara Bianchi (TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang