19.Kenangan dan Rasa Sakit

25.4K 2.8K 122
                                    

Aldevano memutar badan menghadap ke arah pintu setelah suara Saka tidak terdengar lagi. Bisa ia lihat dengan jelas dari kaca jendela, dua orang itu berjalan menjauh dari ruang ia berada saat ini. Terlihat senang dan akrab.

Lagi-lagi Aldevano menghela napas pelan, melihat gadis itu dengan tatapan tak suka. Gadis itu berhasil membuat ia merasa jauh dari sahabat terbaiknya. Sudah ia pastikan, jika begini terus, persahabatannya dengan Saka akan hancur nantinya. Itu semua karena kehadiran gadis licik itu. Ia jadi tidak sabar untuk melenyapkan gadis itu.

"Bosen banget gue di sini." Gerry mengeluh dengan wajah memelas, membuat Aldevano menoleh ke arahnya.

"Ntar malem lo bisa balik ke markas. Tunggu dokter datang," jawab Aldevano yang diangguki oleh Saga dan dua orang anggota lagi.

Saga yang duduk di brankar satu lagi melirik wajah Aldevano sekilas. Ia bisa melihat wajah murung dari cowok itu. Ia jadi merasa bersalah kembali. Jika ia tidak membawa gadis itu ke sana, tentu tidak akan terjadi keributan antara saudara kembarnya dengan sang ketua, Aldevano Hernandes. Di sisi lain, Saga tidak bisa melarang Saka untuk berdekatan dengan gadis polos itu.

Saga menghela napas pelan. Ia memutar badan dan menghadap dinding. Melihat raut dari wajah Aldevano membuat ia menjadi tidak tega. Karena kehadiran gadis itu, Aldevano terlihat semakin berantakan. Saga tahu, wajah dari gadis itu tentu menyiksa Aldevano.

"Gue harus gimana. Gue gak bisa bantu lo buat singkirin tuh cewek. Di sisi lain, kembaran gue juga sayang dan mau lindungin dia," batin Saga.

Saga menghela napas dengan perasaan kalut. Ia tahu Saka bersikap seperti itu, karena kembarannya itu sedari dulu selalu menginginkan adik perempuan, nyatanya, sang ibunda tidak bisa memiliki keturunan lagi, dikarenakan mendapat suatu penyakit setelah melahirkan mereka berdua. Keinginan Saka pupus saat mendengar penjelasan saat itu.

Gerry yang merasa bosan lebih memilih meraih ponsel yang terletak di atas meja kecil, di dekatnya. Ia masuk ke aplikasi game yang selalu ia mainkan kalau tengah berada di markas dan di sekolah, kecuali di rumah, takut kena amukan dari sang papa tercinta. Saat masuk rumah sakit saja, Gerry harus berbohong dengan mengatakan menginap di rumah teman selama beberapa minggu ke depan. Maafkan putramu yang tidak tahu diri ini.

Aldevano melirik jam hitam yang melingkar di pergelangan tangan. Ia menole ke arah pintu kembali. Pasti dua orang tadi tengah pergi ke suatu tempat. Ada perasaan yang terasa mengganjal di hati Aldevano. Seperti merasa iri dengan kedekatan Saka dan gadis itu.

Aldevano berdeham pelan. Ia bangkit berdiri dan merapikan jaket yang tengah ia kenakan. Ia tatap semua orang di sana, terakhir pada Gerry yang tengah sibuk bermain ponsel.

"Ger, gue keluar bentar," ujarnya yang langsung diangguki Gerry tanpa menoleh, tatapan cowok itu fokus pada ponsel.

"Baik-baik lo," balas Gerry dengan mata yang terus fokus pada ponsel. Ia takut AFK dan kalah.

Aldevano mengangguk singkat. Ia berbalik badan, berjalan menuju pintu. Ia tidak berpamitan pada Saga, karena ia lihat cowok itu tengah tertidur. Aldevano membuka pintu dan keluar, setelahnya menutup pintu kembali.

Saga melirik Aldevano yang sudah keluar dari ruangan. Ia lihat cowok itu sudah berjalan menjauh dari ruangan, terlihat dari  pantulan kaca. Saga kembali menghela napas pelan.

"Maaf, Al. Gue ga bisa berbuat apa-apa untuk lo sekarang," gumam Saga dengan perasaan dipenuhi rasa bersalah.

"Sag? Mabar, yuk, gue bosen nih." Gerry menggenggam ponsel dan mendudukkan diri, seraya bersandar pada bantal yang ia tinggikan di belakang punggung.

Alara Bianchi (TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang