35. Rumah Sakit

25.5K 2.7K 173
                                    

Aldevano masih melamun duduk di taman. Ia enggan beranjak dari sana. Sedari tadi, pikirannya selalu tertuju pada gadis yang berhasil ia pukul. Ia tidak tahu ke mana perginya dua orang itu, tepatnya ke mana Saka membawa gadis itu? Apakah ke UKS?

Aldevano menyandarkan punggungnya ke kursi. Entah kenapa, hati kecilnya merasa gelisah setelah kejadian itu. Ada secuil rasa sesal di hatinya telah melakukan hal itu. Tapi di sisi lain, bukankah ia harus bahagia dan harus merayakan suatu kejadian tadi? Ia sudah berhasil melampiaskan emosi pada orang yang tepat. Tapi kenapa dengan hatinya yang selalu bertolak belakang dengan otak. Hatinya mengatakan bahwa ia menyesal, namun otak selalu bersikeras mengatakan bahwa itu balasan yang pantas untuk gadis sialan itu.

"Gue kenapa, sih!" gumam Aldevano dengan sebelah tangan mengacak rambut yang terkena angin.

Aldevano meraba detak jantungnya. Sedari tadi, lebih tepatnya setelah kejadian tadi, detak jantungnya berdetak lebih cepat, entah kenapa. Ia merasakan sesutu, namun ia tidak tahu perasaan apa itu.

Aldevano membuka lebar telapak tangannya. Kembali ia menatap tangan yang sudah berhasil memukul gadis itu. "Gue gak salah, kan?"

Aldevano menghembuskan napas pelan. Ia putar badan menghadap belakang. Mencari keberadaan Saga. Namun, cowok itu sudah tidak ada di sana. Mungkin sudah duluan pergi ke kantin.

"Gini banget rasanya kalo ditinggal sahabat. Sahabat lebih milih orang asing daripada gue." Aldevano tersenyum kecut dengan perasaan hampa.

"Dulu, lo yang paling ngertiin gue, Sak. Sampai lo berani mukul Saga karena dia asal ngomong, enggak ngerti dengan perasaan gue. Tapi sekarang? Lo anggap gue musuh, bahkan dengan berani, lo maki-maki gue, bahkan lo tega ngatain gue cowok brengsek." Aldevano menengadah, menatap langit yang berwarna biru cerah.

Semua kenangan, keakraban, kekompakan, dan kebersamaan antara dirinya dengan dua cowok itu teringat. Di mana ia berada, dua cowok itu pasti selalu ada, menemani dirinya. Sekarang hidupnya seakan seperti orang terbuang yang tidak diinginkan keberadaannya. Gadis itu berhasil membuat Aldevano dibenci, dijauhi bahkan diberi kata makian yang terdengar cukup menyakitkan hati.

Ya, semua terjadi karena kehadiran gadis itu. Gadis itu berhasil membuat Saka jauh dari dirinya. Begitu juga dengan Saga, cowok itu memang tidak ikut campur, tapi Aldevano bisa melihat raut kecewa dari wajah dan mata Saga waktu itu. Aldevano tahu di mana letak kesalahannya, ya, ia hampir saja memukul wajah dari kembaran cowok itu.

Aldevano mengetahui seperti apa sikap Saga. Cowok itu jarang ikut campur urusannya. Tapi cowok itu selalu tidak merasa senang hati kala melihat Saka dibentak, dimaki, dan bahkan Aldevano berniat melayangkan pukulan pada cowok itu. Itulah hal yang membuat Saga menatap ke arahnya dengan tatapan dan raut kecewa.

Aldevano merasa menyesal karena tidak bisa mengontrol diri belakangan ini. Andai Saka tidak ikut campur, mungkin persahabatan mereka akan terus berjalan seperti biasanya. Aldevano berpikir, ini bukan kesalahannya seorang diri. Melainkan kesalahan yang mereka buat bersama. Aldevano ingin melampiaskan dan ingin balas dengan pada gadis itu, tapi Saka malah berbanding terbalik dengan dirinya. Cowok itu malah berniat melindungi gadis itu dari dirinya, dan bahkan terlihat sangat ingin mengorbankan diri dan persahabatan demi keselamatan gadis itu.

"Ini semua karena cewek sialan itu. Dia datang bawa masalah, dan harusnya Saka dukung gue, buat lenyapin cewek itu, agar masalah jadi selesai." Aldevano berujar dengan kesal.

"Ini bukan salah gue. Kenapa gue harus nyesel? Harusnya Saka yang bakal nyesel, dia udah lindungin cewek yang pantas dilenyapin," ujarnya dengan pemikiran sempit itu. Membela diri sendiri.

Aldevano bergeser ke depan. Ia rebahkan badan di sana. Tangan ia lipat di belakang kepala. Matanya menatap hamparan langit yang ada di atas.

"Andai kita masih bareng," gumam Aldevano dengan pelan.

Alara Bianchi (TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang