16. Tidak Sejalan

26.7K 2.8K 86
                                    

Hari ini adalah hari minggu. Namun Alara tetap bangun pagi seperti biasa. Ia sudah terbiasa bangun pagi karena harus memasukkan buku dan peralatan tulis lainnya ke dalam tas. Setelahnya memeriksa kembali. Dulu pernah tidak memeriksa kembali, alhasil buku paketnya ketinggalan, untung saja ia tidak dimarahi oleh guru.

Alara tersenyum tipis ketika menoleh ke sisi kanan kasur. Semalam ia letakkan boneka berwarna merah di sana. Boneka itu adalah pemberian dari Saka. Entah kenapa, cowok itu menyembunyikan boneka milik dirinya yang berwarna merah muda waktu ia tunjukan kala itu. Saka bilang, bonekanya besok boleh dipakai buat main, bukan untuk sekarang. Terlalu cantik, itulah kata cowok itu. Alara menurut saja. Lagian, boneka pemberian cowok baik itu terlihat sangat imut dan menggemaskan. Ukurannya jauh lebih kecil dibanding boneka warna merah muda kemarin. Saka membelikan boneka itu dengan ukuran kecil, agar bisa Alara bawa ke manapun, untuk jadi teman, itulah kata Saka.

Alara bergeser ke tengah, meraih boneka merah itu. Kemarin ia dan Saka sudah memberi nama, yaitu Pupu, nama yang imut untuk boneka yang menggemaskan.

"Allo, Pupu." Alara mengangkat boneka itu ke depan wajah, mengamatinya dengan wajah ceria. Setelahnya, ia peluk boneka kecil itu.

Setelah puas memeluk Pupu, Alara meletakkan kembali pada tempat semula dengan pelan. Setelah itu, ia bangkit berdiri. Alara merapikan bantal dan guling yang ada di atas kasur kemudian melipat selimut dengan rapi. Semua sudah beres ia kerjakan. Ia tidak enak jika Bi Wati terus yang merapikan dan membersihkan kamarnya.

Alara mengucir rambutnya ke atas. Sinar mentari mulai terbit dengan perlahan, terlihat dari pantulan kain gorden yang bergerak karena tertiup angin segar. Alara melangkah ke sana, menarik keseluruhan kain gorden itu ke samping.

"Seger banget," ujar Alara dengan kedua tangan ia rentangkan lebar. Kamarnya yang terletak di atas, tentu dengan begitu ia lebih leluasa melihat pemandangan dan kendaraan yang berlalu lalang di bawah sana.

Alara menarik napas dan ia hembuskan. Angin sejuk menerpa wajahnya yang putih pucat itu, belum ia poles dengan bedak atau pun pewarna bibir seperti biasa jika berangkat ke sekolah.

Alara melangkah menuju balkon. Ia buka pintu menuju ke sana dengan lebar. Ia berjalan dan memegang pagar pembatas seraya melihat ke bawah.

Satu mimpi yang saat ini mengusik pikirannya saat melihat ke bawah. Ia pernah melihat cowok jahat itu ada di sana dan memanjat hingga mendapati dirinya yang tengah duduk sendirian. Alara tidak ingat betul mimpi itu, yang ia ingat hanya cowok jahat itu menyakiti dirinya.

"Aku enggak boleh ingat mimpi itu." Alara menggeleng cepat dengan wajah cemberut. Ia tepis semua tentang cowok jahat itu dalam ingatannya.

Alara mengamati dari atas setiap pengendara yang lewat di bawah. Setelah sekian menit berada di sana, ia segera beranjak ke dalam kamar, tidak lupa menutup pintu arah balkon. Di sisi lain, ia takut mimpi itu jadi kenyataan, di mana cowok jahat itu memanjat dinding dan sampai ke atas, menjumpai dirinya.

Alara melirik jam yang ada di dinding kamar. Sudah saatnya ia mandi, setelahnya sarapan. Pasti saat ini Bi Wati tengah sibuk di dapur menyiapkan makanan. Ingin Alara juga membantu memasak sarapan, tapi di larang. Ia sudah menawarkan diri waktu itu, yang ia dapat hanya penolakan, dengan alasan Bi Wati bisa masak sendiri, itulah katanya.

Alara berjalan menuju lemari. Ia keluarkan baju santai untuk ia pakai nantinya setelah selesai mandi. Sejenak Alara mendudukkan diri. Hari ini adalah hari libur, ia ingin jalan-jalan keluar sebentar. Apakah Bi Wati akan memberi izin?

"Mandi dulu aja. Nanti bilang sama Bi Wati."

***
Aldevano, Saka dan Saga serta yang lain berada di markas. Seperti biasa, mereka lebih suka menghabiskan waktu di sana ketimbang berada di rumah. Ngumpul bersama ribuan anggota dan teman memang lah menyenangkan, apalagi di hari libur.

Alara Bianchi (TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang