Saka duduk di depan Alara. Gadis itu menyambutnya dengan senyum lebar di bangku kelas, membuat hati Saka jadi menghangat. Andai ia punya adik perempuan, tentu ia akan merasakan kehangatan ini setiap hari.
Saka menggeleng pelan, harapan itu tidak akan pernah terkabul, sampai kapan pun itu. Ia tidak ingin berkhayal tentang itu lagi, semua penjelasan dari kedua orang tuanya kala itu menyadarkan dirinya. Ia tidak bisa mempunyai saudara lagi, hanya Saga saudara satu-satunya yang ia punya.
"Mau ke kantin?" tawar Saka sambil melipat tangan di atas meja. Ia amati wajah cantik gadis itu dengan senyum yang sedari tadi mengambang.
Alara terkekeh pelan melihat Saka yang jadi senyum-senyum sendiri. Ia pukul pelan lengan cowok itu dengan buku paket yang ada di atas meja. Ia jadi geli sendiri melihat kelakuan cowok itu.
"Kak Saka, ih. Jangan liatin aku gitu. Aku malu," ujar Alara yang terus-terusan memukul pelan lengan cowok itu. Ia jadi salah tingkah.
Saka menaikkan sebelah alisnya menggoda gadis itu. Alhasil ia jadi terbahak melihat wajah gadis itu yang semakin memerah karena malu. Ternyata, selain polos, gadis itu juga sangat pemalu. Persis seperti sikap gadis itu sejak dahulu, sebelum hilang ingatan.
"Kenapa malu? Karena gue ganteng, ya?" tebak Saka dengan percaya diri. Ia sugar rambut ke belakang dengan gaya sok keren.
Alara tertawa kencang. Semua orang yang ada di dalam kelas hanya diam dan saling lempar pandang. Tidak mengerti dengan dua orang itu bicarakan.
Abela yang duduk sendirian di pojok, hanya bisa mendengar tawa gadis itu dengan rasa jengah. Ia merasa muak melihat gadis itu yang berlagak seperti sahabatnya, Alara. Ia benci gadis itu. Karena gadis itu, ia jadi kehilangan sahabat. Ia jadi sendirian.
Abela memutar badan menghadap belakang, ingin mengambil ponsel di dalam tas. Tak sengaja, ujung matanya menangkap seorang cowok yang ia kenal tengah mengamati dua orang itu dari jendela. Cowok yang saat ini tatapan tajamnya tertuju pada punggung gadis itu. Dia Aldevano Hernandes.
Abela memilih diam dan pura-pura tidak lihat apapun. Ia tidak ingin ikut campur, dan tidak ingin pula memberitahu gadis itu. Di sisi lain, ia merasa senang. Ia senang jika Aldevano terus-terusan menyakiti gadis itu. Anggaplah itu pembalasan dari orang yang tidak tahu diri.
Abela membuka tas dan mengeluarkan ponsel. Lebih baik ia mendengar lagu dibanding mendengar tawa gadis sok polos itu.
"Sok polos emang!" gumam Abela melirik gadis itu dengan ujung mata. Setelahnya, ia bergeser dan bersandar pada dinding.
Alara sedari tadi memegang pipi. Pipinya terasa panas karena terus-terusan tertawa. Itu ulah cowok yang ada di depannya saat ini.
"Udah, Kak Saka, jangan bikin aku ketawa lagi. Pipi aku jadi panas," ujar Alara dengan sebelah tangan yang masih memegang pipi dan menepuk dengan pelan.
Saka terkekeh melihat wajah gadis itu jadi merah. Bukannya berhenti, Saka malah meneruskan ide konyol yang terus mengalir di otaknya.
"Gue ganteng gak kalo gini?" tanya Saka sambil membuka mulut dan melebarkannya. Kedua mata ia buat jadi melotot.
Tawa Alara pecah seketika. Ia tidak bisa menahan tawa ketika menyaksikan wajah Saka berubah drastis seperti itu. Bukannya ganteng, yang ada makin berbentuk aneh.
"Kak, udah," cicit Alara dengan wajah memerah. Ia seka sudut matanya yang mulai berair, ia terlalu keras tertawa.
Saka cekikikan sambil menyugar rambut ke belakang. Ia tepuk pelan pipinya dan mengangguk, ia tidak ingin membuat lelucon lagi. Merasa kasihan pada gadis itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Alara Bianchi (TERBIT)
Roman pour AdolescentsJANGAN LUPA FOLLOW SEBELUM MEMBACA KARENA SEBAGIAN CERITA DI PRIVATE!! Alara Anindiya Bianchi, gadis polos penyuka es krim dan hal yang berbau dengan kucing. Seperti boneka kucing. Hidupnya yang awalnya sempurna jadi berubah drastis sejak ia kehilan...