22. Mimpi dan Taman

23.4K 2.5K 72
                                    

Aldevano menatap hujan yang turun dengan perasaan hampa. Sudah dua jam lebih ia berada di markas bersama Saga, Harry dan Gerry. Cowok itu sudah diperbolehkan pulang oleh dokter dan memberinya obat untuk pengering luka goresan yang ada di kaki cowok itu. Di markas juga ada anggota yang lain, kecuali Saka. Cowok itu tidak ada di sana.

Aldevano membuka jaket yang melekat di tubuh dan melempar kesembarang arah dengan asal. Ia biarkan angin malam berhembus menusuk kulit. Percikan air mengenai wajahnya yang terlihat semakin lelah.

Tangan Aldevano mengusap wajah dengan kasar. Saat ini ia berada di kamar markas. Jendela kaca masih terbuka, tidak berniat ia tutup. Ia masih ingin duduk di sana, menikmati kesendirian.

Aldevano menopang dagu dengan sebelah tangan. Kenangan bersama gadisnya kembali teringat. Apakah hujan yang turun hanya datang untuk mengingatkannya pada gadis itu? Tidak bisakah hujan mengasihani dirinya yang sudah lelah ini? Kenapa setiap hujan turun ia jadi merasa hampa dan sesak? Kenapa? Hujan kali ini sama jahatnya dengan gadis itu. Sama-sama mendatangkan sesak.

"Andai kamu masih di sini, Ra. Pasti kita lagi barengan liatin hujan yang turun," ujar Aldevano dengan lemah.

"Kamu inget gak, Ra? Kamu rela kehujanan demi tungguin aku tanding basket," kekeh Aldevano dengan pikiran yang terus tertuju pada kenangan masa lalu.

Aldevano menghela napas panjang. Ia menatap hujan yang kian lebat dengan perasaan hampa. Tidak ada seorang pun yang menemani dirinya. Hanya angin malam yang berhembus, dinginnya menusuk sampai ke tulang.

"Aku capek, Ra." Aldevano meletakkan kepalanya pada jendela. Ia miringkan kepala, menatap daunan yang bergoyang karena terkena guyuran air.

Aldevano memejamkan mata dengan pelan. Berharap dalam hati, ia kembali bisa merasakan sentuhan gadis itu yang tengah membelai rambutnya dengan lembut. Berharap juga gadis itu datang menemui dirinya.

"Kenapa kamu gak dateng buat usap rambut aku, Ra?" tanya Aldevano dengan suara lirih.

"Biasanya kalo aku lagi capek, kamu selalu datang buat nenangin aku, bahkan kamu selalu usap rambut aku." Aldevano membenamkan wajah di kedua tangan. Ia acak rambut belakang dengan kasar.

Aldevano menelan rasa kecewa, sesak bahkan pengap. Ia hanya seorang diri di sana. Tidak akan ada lagi yang menyemangati harinya seperti dulu, bahkan tidak ada yang menemani dirinya lagi.

"Semua karena lo sialan!" Aldevano mengangkat wajah dengan rasa marah. Semua rasa sesak yang ia rasa karena kehadiran dan ulah gadis itu.

"Karena lo, Alara gak mau nemuin gue! Gue benci sama lo! Setelah Alara pergi, lo juga mau ambil sahabat gue!"

Aldevano menatap nyalang ke depan. Rahangnya mengeras dengan kedua tangan terkepal kuat. Wajah gadis itu membuatnya merasa semakin murka.

"Sok polos! Berhenti gunain wajah cewek gue, sialan!" Aldevano menendang dinding dengan kencang.

Emosi Aldevano semakin menggebu. Ia berbalik badan dan melangkah lebar menuju botol minuman yang sudah kosong, yang terletak di atas meja sudut ruangan.

"Gue benci lo, sialan!" Aldevano melayangkan tangan dan menepis semua botol itu dengan kencang.

Prang!

Semua botol jatuh dan pecah berserakan di lantai. Wajah Aldevano memerah dengan dada naik turun. Kembali ia tendang meja, ia lampiaskan semua emosi pada barang yang ada di sana.

"Gue benci liat wajah sok polos lo! Kenapa lo buat Ara jauh dari gue? Kenapa?!"

Aldevano berjalan mendekat pada dinding. Ia kepalkan kedua tangan dan meninju dinding berkali-kali.

Alara Bianchi (TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang