20. Sebuah Bukti?

27K 2.9K 25
                                    

Aldevano mengangkat wajah ketika ia mendengar bunyi kendaraan yang berlalu lalang. Matanya menyipit dan setelahnya melebar ketika menyadari ia masih berada di tempat yang ia datangi. Apakah ia tertidur di sana sedari tadi? Yang benar saja.

Aldevano menyeka sudut matanya yang terasa basah. Ia mendongak menatap langit biru di atasnya dengan mengingat kejadian di mana ia bisa tertidur di bawah pohon dekat taman.

"Gue menyedihkan banget." Aldevano menghela napas berat. Memang benar, ia tertidur di sana dalam keadaan tengah menangis, menahan rasa sesak yang terasa menusuk jantung.

Aldevano enggan menurunkan pandangan. Ia masih setia menatap hamparan awan yang terlihat bersatu dengan langit biru. Cuaca terlihat sangat cerah, tapi tidak dengan suasana hatinya saat ini. Suasana hatinya berbanding terbalik dengan hamparan langit biru yang cerah. Muram, hampa dan disertai rasa sesak.

"Andai kita masih bareng." Aldevano menurunkan pandangan dengan kedua kaki semakin ia tekuk dan memeluknya erat.

"Lo tau apa yang paling gue benci di dunia ini?" tanya Aldevano pada angin yang berhembus, menerpa wajah dan rambut hitamnya.

"Gue benci situasi saat ini. Gue benci kalo gak barengan sama dia, dan gue benci rasa rindu," lirihnya dan kembali membenamkan wajah diantara kedua kaki yang ditekuk.

Sebelah tangan Aldevano terkepal. Ia pukul tanah dengan perasaan yang tidak bisa ia jabarkan. "Lo bikin gue jadi manusia yang paling menyedihkan di dunia ini!"

Pukulan tangan Aldevano semakin kencang pada tanah. Ia terus memukul tanah meski tangannya sudah memerah dan terasa perih. Namun ia lakukan untuk melampiaskan rasa kesal, sedih, marah, hampa, sesak, pengap, semua berkecamuk menjadi satu.

Aldevano menghentikan pergerakan tangan memukul tanah. Ia menarik tangan itu dan kembali memeluk kedua kaki yang ia tekuk. Tidak ada gunanya menyakiti diri sendiri seperti ini. Apapun yang ia lakukan, tidak akan membuat gadisnya kembali. Kecuali melenyapkan gadis itu.

Mata Aldevano terbuka lebar. Ia jadi teringat dengan gadis itu. Segera ia mengangkat wajah dan menoleh pada kursi panjang di sana.

Tidak ada seorang pun di sana. Termasuk Saka, sahabatnya. Ke mana perginya mereka? Apakah sudah pulang? Kenapa ia tidak melihat kepergian dua orang itu? Atau mereka pergi ke tempat lain?

Aldevano menggeram kesal. Kenapa ia bisa sampai tertidur. Jadinya ia tidak tahu ke mana perginya dua orang itu. Ia jadi kehilangan jejak.

"Bodoh! Bisa-bisanya gue ketiduran di sini!" maki Aldevano pada diri sendiri.

Aldevano bangkit berdiri. Ia tepuk celana bagian belakang, karena rumput kering yang kecil melekat di sana. Setelah bersih, ia melirik jam yang ada di pergelangan tangan.

Kedua bola mata Aldevano terbuka lebar. Ia syok melihat waktu yang tertera di putaran jam tangan. Berarti ia sudah setengah jam tertidur di sana. Yang benar saja.

"Sial! Bisa-bisanya gue tiduran di sini setengah jam." Aldevano mengumpat kesal. Ia berjalan pelan menuju motor yang terparkir di sana.

Aldevano mengeluarkan kunci yang ia simpan dalam saku jaket. Setelah dapat, ia segera naik ke atas motor. Tidak buang waktu, ia tancap gas.

Aldevano memelankan motor dan melirik sekilas kursi panjang. Di sana tersimpan kenangan yang sangat banyak antara dirinya dan gadisnya. Setelahnya ia lajukan motor dengan kecepatan sedang, meninggalkan taman.

"Kita pasti bisa kembali lagi ke sini, berdua."

***
Saka duduk di tepi kasur milik Alara sedari tadi. Sejak di taman, gadis itu belum sadarkan diri sampai sekarang.

Alara Bianchi (TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang