Bab 27 : Bukan Masa Lalu Yang Menjadi Masalah, Tapi Siapa Perempuan Itu?

11.3K 1.2K 41
                                    

Salwa tengah menatap wajah Fatih yang tertidur pulas di sebelahnya saat ini. Sepulang dari mengantar dua keponakan mereka, Fatih mengajak Salwa untuk menginap di rumah papanya. Hitung-hitung, menjenguk sekaligus menemani sang papa yang hanya hidup berdua di perumahan di daerah Bogor dengan bersama seorang penjaga kebunnya dahulu di batalyon.

Salwa tidak bisa tidur sama sekali. Dengkuran milik sang suami selalu membuatnya terjaga. Dia tidak tahu harus bagaimana untuk meredakan dengkuran itu. Jangankan memberitahu bahwa dia adalah tipe orang yang sulit tidur dengan suara-suara, bertanya pasal foto yang ditemukannya hari lalu saja dia tak mampu. Ada rasa tidak enak dan takut. Ada banyak pertimbangan yang selalu berputar di kepalanya.

Apakah pantas dia bertanya, apakah wajar bila dia penasaran? Akankah suaminya menjawab dengan jujur, akankah pula merasa tersinggung karena memasuki ranah pribadi yang mungkin masih dipagar tinggi?

Salwa masih terus menatap wajah sang suami dalam hening. Dan entah kenapa, dia merasa bahwa baru kali ini wajah itu ditatapnya lama-lama. Memperhatikan setiap inci bagian dari ciptaan Allah yang selalu membuat orang lain berdecak kagum: ujung rambutnya yang sedikit bergelombang, dahinya yang membentuk persegi, alisnya yang tebal dan hitam, matanya yang ditumbuhi bulu pendek, lalu hidungnya yang tinggi. Tertarik, Salwa pun hampir menempelkan ujung jarinya pada bibir Fatih yang berisi. Namun, dia segera menarik tangannya dan berbalik.

Salwa memejamkan matanya sambil merutuki dirinya. Apa yang dia lakukan? Berani sekali dia sekarang. Apakah perhatian manis Fatih sudah mulai merobohkan dinding-dinding di hatinya? Salwa pun berbalik sebentar untuk menatap wajah sang suami sekali lagi. Setelahnya, dia bangkit dan keluar dari kamar dengan perlahan. Jilbab instan yang ada di balik pintu pun tak lupa diambil lalu dipakai. Sebab, penjaga kebun Papa juga tinggal di rumah ini.

Setibanya di dapur, Salwa terkejut karena ada Papa yang sedang melamun di sana. Cahaya yang dibiarkan temaram di ruangan itu membuat Salwa menebak-nebak apa yang sedang dipikirkan mertuanya. Apakah beliau tengah tidak bisa tidur karena sesuatu?

"Salwa?"

"Eh, iya, Pa." Akibat terlalu banyak berpikir, Salwa sampai tidak sadar kalau sang papa sedang memperhatikannya beberapa saat. Salwa pun melangkah menuju mertuanya itu duduk: di meja makan. "Papa belum tidur?"

"Sudah. Tapi terbangun karena suara kucing berantem di depan rumah." Papa tersenyum dan bangkit untuk menyalakan lampu. "Kamu sendiri kenapa belum tidur, Nak?"

Seketika Salwa menjadi kikuk. Apa yang harus dia jawab? Apakah mengatakan bahwa terganggu dengan suara dengkuran suaminya tidak membuat papanya tersinggung?

"Salwa?" Papa sudah duduk kembali di kursinya dan keheranan dengan menantunya yang mendadak beku di sebelah kursi, di dekatnya. "Enggak bisa tidur karena Fatih ngorok, ya?" tebak Papa.

"Eh? Itu ..." Bingung, Salwa pun hanya bisa tersenyum kecil. "... Salwa kepikiran kerjaan aja kok, Pa."

Papa tertawa pelan, lalu menyuruh Salwa duduk. "Fatih itu sama seperti Papa. Kalau tidur bakal bersuara kayak radio setelah siaran. Maklumin, ya? Nanti pasti salah satu akan ada yang mengalah. Seperti mamanya yang mengalah lalu berdamai dengan suara ngorok papa. Malah, suka rindu kalau semisal papa ada dinas di luar kota." Ucapan Papa pun diakhiri gelak tawanya yang terdengar agak sengau.

Terjawab sudah rasa penasaran Salwa. Wajah Papa yang sendu setelah menyebut istrinya, tangannya yang saling bertaut di atas meja, dan lalu matanya yang menatap kosong ke arah kursi di depannya cukup untuk menyimpulkan semuanya.

Kilometer Cinta [Complete] ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang