"Kamu serius ingin bertaaruf dengan anak saya?" tanya Ayah.
"Iya, Pak. Saya sudah mantap ingin bertaaruf dengan anak Bapak." Fatih terlihat serius dengan kata-katanya.
"Bagaimana, Salwa?" Pandangan Ayah beralih pada Salwa yang menundukkan kepala.
Sebelah tangan Salwa yang menggenggam pensil mengerat menahan gemetar. Ada rasa takut bercampur haru di dalam sana. Pikirannya masih saja mengenang masa lalu. Belum lagi aroma parfum yang dihirupnya kala di bandara. Sosok lelaki itu terasa sangat akrab sekali.
"Mbak," bisik Hisyam sembari menyenggol lengan Salwa.
"Iya." Spontan Salwa menjawab bisikan Hisyam yang malah disalahartikan oleh ayahnya.
"Alhamdulillah. Kalau si empunya badan sudah menerima, mari kita bicarakan lebih lanjut." Salwa terkesiap mendengar ucapan Ayah.
Kenapa Ayah mengambil keputusan sepihak? Bukan itu maksud dari ucapannya barusan. Ingin sekali Salwa menjelaskan semuanya, tetapi Ibu tampak bahagia dan mengelus bahunya penuh sayang. Belum lagi suara tepuk tangan dari pengunjung yang turut menyaksikan.
"Allah, bagaimana ini? Apa yang harus hamba lakukan?" tanya Salwa dalam hati.
Salwa dan keluarganya pun berjalan menuruni tangga. Diikuti juga oleh Fatih dan Ahmad. Di bawah, Lusi dan kedua teman mereka baru saja hendak menyusul setelah mendengar sorak-sorai dari atas tugu. Namun, melihat Fatih yang berjalan bersisian dengan Ayah Salwa membuat mereka mengurungkan niat.
"Mad, ada apaan tadi?" tanya Lusi penuh penasaran.
"Atraksi. Udah ya, gue ama Fatih duluan. Sorry."
Ahmad kembali menyusul Fatih dengan sedikit berlari. Dia ingin sekali memberi tahu kabar bahagia bahwa Fatih baru saja mengumumkan bahwa dia sudah move on. Namun, menimbang bahwa kemungkinan Lusi akan patah hati membuat dia mengurungkan keinginannya.
"Mad. Ahmad!" Panggilan dari Lusi tak mendapat respon. Dua pemuda itu terus melangkah tanpa menoleh ke belakang.
***
Proses taaruf akan berlangsung selama satu bulan. Dimulai dengan saling bertukar CV dan pertanyaan selama proses taaruf akan dilakukan dalam satu grup chat yang terdiri dari Ayah, Ibu, Salwa, Fatih, dan Nusaibah.
Saat ini Salwa sudah berada di dalam pesawat yang masih menunggu beberapa penumpang. Setelah tiga hari menghabiskan waktu di tanah Serambi Mekah, dia tak ingin berlama-lama lagi. Selain pesanan pelanggan beberapa hari lalu, ada perihal lain yang membuatnya tampak berpikir. Apalagi kalau bukan masalah taaruf.
"Nak, sudah seharusnya kamu menikah. Ibu ingin melihat kamu ada yang memiliki. Ingat, kami orang tuamu tidak akan selamanya bisa mendampingi. Ada batas yang masing-masing kita miliki. Menikahlah. Ibu harap, Fatih adalah jodoh yang tepat pilihan Allah buat kamu." Lagi-lagi ucapan Ibu sehari setelah diskusi perihal taaruf dengan Fatih membuat Salwa tak tau harus bagaimana.
Salwa ingin sekali menolak, tetapi Ayah dan Ibu terlihat antusias. Hisyam bahkan sudah memanggil Fatih dengan sebutan Abang Ipar. Hanya Hazwar yang mengerti bagaimana dirinya saat ini.
"Kenapa Mbak diam aja kalau gak suka?" Salwa kembali membaca chat dari Hazwar sehari yang lalu.
"Mbak harus mikirin kebahagiaan buat Mbak."
"Jangan cuma karena umur dan tekanan dari orang tua, Mbak jadi lupa buat mikirin kebahagiaan Mbak sendiri."
"Mbak, Hazwar pasti dukung apa pun pilihan Mbak. Tapi Mbak harus bahagia."Salwa mengembuskan napas panjang, meluapkan rasa sesak di dalam dadanya. Pikirannya yang ruwet membuat ia lupa untuk membalas pesan adiknya. Tanpa berpikir panjang, satu kalimat berhasil ia kirim sebelum komando untuk mematikan ponsel diumumkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kilometer Cinta [Complete] ✔️
Romance⚠️Warning! Baper detected⚠️ Romance-religi Dukung saya dengan cara follow dan rekomendasiin cerita ini ke teman-teman wattpad kamu. Terima kasih. 💙 Prolog : Siapa pun pasti pernah mengalami kecewa. Entah itu perpisahan atau pertemuan yang disesa...