Jika rindu saja tidak dapat diukur, apalagi cinta yang mana tidak ada standardisasi sedalam apa perasaan itu menguasai diri anak manusia. Cinta yang dahulu digadang-gadangkan pupus hingga tak lagi dapat tumbuh tunas baru, nyatanya ia menjadi sangat subur tanpa sepengetahuan Salwa. Dia pun sadar, bahwa perjalanan hidup memang seringkali tak sesuai kehendak diri.
Kini Salwa menikmati rasanya merindu dalam senang, mencinta dalam tenang, juga senantiasa bersyukur setiap waktu di kala mengenang kebersamaannya dengan Fatih. Dia menyukai semua itu. Seperti hari ini, dia menyukai setiap detik waktu yang terus berputar dalam penantiannya. Dia menyukai jarum jam yang terus bergerak menuju angka dua.
"Mbak Wawa!"
Salwa terkejut. Pandangannya yang semula menatap tanaman stroberi di media hidroponik beralih pada Fathiya yang berdiri di ambang pintu kaca, di teras samping rumah.
"Ayo, masuk! Kata Bunda kita makan duluan. Ayah makan siang di pabrik soalnya," ajak Fathiya.
Sebenarnya, Salwa tidak mengalami sulit makan atau sejenisnya seperti kebanyakan orang hamil. Namun, rasanya dia malas saja jika tidak diminta langsung oleh suaminya.
"Mbak ... Bunda udah masak sayur asem, loh. Kesukaan Mbak Wawa." Fathiya berjalan mendekati Salwa. Matanya awas memperhatikan tanaman stroberi. Beberapa saat kemudian, matanya menyipit sambil mencari-cari kalau saja ada buah yang dapat dipetik.
"Mbak belum laper, Dek."
Fathiya mengalihkan pandangannya. Dia menatap Salwa yang tidak bersemangat. "Mbak, Mbak harus makan walau enggak laper. Kan sekarang yang makan bukan Mbak sendirian lagi. Tuh si dedek juga harus makan," ucapnya.
Salwa pun akhirnya menurut. Dia ikut makan siang bersama keluarga pamannya. Hanya saja, makannya entah mengapa tidak bisa selahap sebelumnya.
Waktu terus berputar. Saat jarum jam sudah mengarah ke angka dua, senyumnya mengembang. Dia segera mengenakan hijab instan dan duduk di ruang tamu sambil menatap pagar yang tertutup. Rasanya sudah tak sabar untuk bertemu Fatih setelah ditinggal selama empat hari.
Satu menit, dua menit, hingga akhirnya jarum jam mengarah hampir ke angka tiga, lelaki yang ditunggu Salwa tak kunjung pulang. Perasaannya mulai tidak enak. Hal ini juga mengingatkan dia pada kejadian beberapa waktu lalu, saat sebelum masalah besar menimpa keluarga kecilnya. Jantungnya pun mulai berdetak cepat dengan diselimuti perasaan aneh.
Karena bosan menunggu, Salwa pun akhirnya memilih masuk ke kamar karena tiba-tiba rasa kantuk mulai menggelayuti kelopak matanya. Di terlelap begitu kepalanya menyentuh bantal. Pulas sekali.
Dalam tidurnya, Salwa memimpikan Hazwar dan Hisyam. Mereka beradu mulut seperti biasa. Salwa hanya memperhatikan dua adiknya yang berebut bantal. Padahal mereka sudah besar, satu remaja dan satunya lagi sudah dewasa, tapi jika berada dalam satu ruangan, pasti kebisingan akan menjadi hasilnya.
"Abang tuh harusnya ngalah sama adeknya!" Suara Hisyam meninggi.
"Di mana-mana, adek itu harus nurut sama abangnya!" Hazwar tak mau kalah.
"Bener-bener ya, Abang durhaka."
"Eh, kamu tuh yang adek durhaka!"
"Abang!"
"Kamu!"
"A---"
"Udah-udah! Kalian ini, dari tadi ribut terus. Enggak di rumah, enggak di bandara, enggak di pesawat. Enggak ada habisnya." Itu suara Sofia. Salwa tersenyum bahkan dalam tidurnya saat mendengar suara Ibu yang terdengar sangat nyata sekali. Dia merasa seperti sedang berada di rumah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kilometer Cinta [Complete] ✔️
Romance⚠️Warning! Baper detected⚠️ Romance-religi Dukung saya dengan cara follow dan rekomendasiin cerita ini ke teman-teman wattpad kamu. Terima kasih. 💙 Prolog : Siapa pun pasti pernah mengalami kecewa. Entah itu perpisahan atau pertemuan yang disesa...