Bab 5 : Menikah(?)

21.2K 1.9K 35
                                    

"Ente belum nikah nih?" tanya Ahmad Khaeri--salah satu teman seangkatan Fatih di sekolah penerbangan. Mobil yang dikendarainya mulai berbelok di persimpangan.

"Kenapa? Ente mau nyumbang resort di Pulau Weh?" seloroh Fatih sambil menyugar rambutnya di bangku penumpang.

"Ngeledek nih ceritanya?"

"Kan kali aja Ente mau kasih kado pernikahan yang paling beda."

"Ya gak seloyal itu juga. Ane mah masih nabung buat nikahan besok."

"Emang ada yang mau nikah sama Ente?" Ahmad membulatkan matanya. Tisu basah yang ada di hadapannya melayang ke arah Fatih sesaat kemudian. "Tuh mulut tajem banget. Memangnya situ, belum move on sampe sekarang," ledek Ahmad diakhiri gelak tawa.

Fatih ikut terkekeh pelan. Sorot matanya memperlihatkan gurat kesedihan. Namun, ia tahan.

"Ente harus move on. Biarlah kenangan menjadi gurat kehidupan. Jangan biarkan dia menjadi beban di masa depan. Karena kaki harus tetap melangkah maju, menyongsong hari baru." Fatih tertegun. Lagi-lagi Ahmad memberinya nasehat seperti dua tahun lalu.

Ah, mengingat itu membuat Fatih ingin kembali ke masa pertemuannya dengan wanita pemilik wajah senja. Sangat indah dipandang, tapi menghilang begitu cepat ditelan kegelapan malam. Tak seharusnya ia mengenang kenangan pahit dalam hidupnya itu. Benar kata Ahmad, bahwa kaki harus tetap melangkah maju dan meninggalkan kenangan masa lalu.

Setelah beberapa puluh menit, mereka tiba di kota Serambi Mekah, Banda Aceh. Fatih merasa ingin mengitari kota sebelum chek-in hotel dan besok paginya menyebrang ke pulau Weh. Akhirnya, mereka berkeliling dan menyinggahi Museum Tsunami yang berada tak jauh dari masjid Baiturrahman.

Walau museum sudah tutup, tetapi masih bisa masuk dan duduk santai di halamannya. Fatih berjalan perlahan sembari memperhatikan sebuah kerangka helikopter yang rusak akibat bencana Tsunami tahun 2004. Saksi bisu bencana alam yang memporak-porandakan tanah Aceh. Dalam hati ia meringis menahan perih. Dapat dibayangkan bagaimana dahsyatnya bencana yang merenggut ratusan ribu nyawa kala itu.

Fatih dan Ahmad akhirnya memutuskan untuk duduk di dekat kolam ikan bertemankan pemandangan interior bangunan dan bendera negara asing yang dulu pernah membantu Indonesia pasca Tsunami. Ada empat puluh bendera tergantung di atas kolam sebagai ucapan terima kasih atas donasi yang telah mereka gelontorkan untuk Aceh kala itu. Entah itu dalam bentuk dana, juga tenaga relawan.

"Besok pagi jam berapa kita berangkat ke pulau, Mad?" tanya Fatih setelah menandaskan sebotol kopi.

"Jam delapan," jawab Ahmad singkat sembari mengetikkan sesuatu pada ponselnya.

"Naik apa?"

"Kapal."

"Ente berenang?"

"Iya." Tak lama kemudian Ahmad menghentikan aktivitasnya pada ponsel. Matanya beralih pada Fatih yang sedang melipat tangan di depan dada.

"Sorry-sorry. Apa tadi?" tanya Ahmad kemudian.

Fatih tak mengulang pertanyaan. Ia berdiri kemudian berjalan menuju parkiran. "Ayo, ane mau istirahat," ucapnya sembari memasang kacamata hitam dengan gaya keren.  Beberapa pengunjung perempuan tak berhenti memandanginya dan tersenyum.

"Fatih, Fatih, sifat mudah ngambeknya gak pernah hilang," gumam Ahmad lalu berjalan dengan cepat menyusul Fatih.

***

Tepat pukul 07:30 WIB, keluarga Salwa tiba di pelabuhan Ulee Lheue, kota Banda Aceh. Di ruang tunggu, Hazwar dan Hisyam tak henti-hentinya beradu pendapat tempat apa yang hendak mereka datangi nanti di pulau Weh lebih dulu. Salwa yang mulanya diam pun kini tak bisa menahan lagi. Dengan satu tarikan napas, satu kalimat dari Salwa sukses membuat kedua adiknya diam.

Kilometer Cinta [Complete] ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang