Fatih mengendarai mobil putih miliknya dengan kecepatan sedang, membelah jalanan padat-lancar di tengah teriknya matahari. Jadwal penerbangannya hari ini telah selesai. Sementara dalam empat hari ke depan ia libur dari pekerjaan.
Tepat setelah melewati lampu merah, ia berbelok ke arah kanan, lalu putar balik dan berhenti di depan toko kue yang lumayan besar. Sebelum turun, ia mengenakan jaket hitam untuk menutupi seragam dinas yang tak sempat diganti. Dirapikannya rambut yang sudah mulai panjang setelah tiga minggu lalu dipangkas.
Fatih berjalan menuju toko dengan senyum mengembang. Setiap kali pengunjung lain ataupun pegawai toko menyapa, lesung pipinya timbul menambah ketampanannya meningkat seratus persen.
"Duh gustiii, mbokyo jangan lama-lama senyum gantengnya, Mas Fatih," celetuk salah satu pegawai toko yang tengah hamil besar.
"Kenapa memangnya, Mbak Far?" Fatih mengalihkan perhatiannya pada kue-kue kecil yang tertata rapi di etalase.
"Pake nanya lagi. Yo aku bisa melahirkan dini entar, Ya Allah ...." Fatih terkekeh mendengar godaan dari Farin, salah satu pegawai terlama di toko kue langganannya itu.
"Mbak bisa aja. Ya udah, aku cemberut aja ini," ucap Fatih dengan memanyunkan bibirnya.
"Ya Allah ...." Seketika keadaan toko riuh akan suara para gadis dan emak-emak yang mengelukan wajah Fatih. Fatih yang merasa sudah biasa pun malah terkekeh dan menunjuk beberapa cupcake.
"Mbokyo bikin aku benci sama Mas Fatih to. Biar anakku mirip sama sampean. Ini kok malah aku seng klepek-klepek, Mas." Farin segera mengusap perutnya beberapa kali. Lalu, dengan lihai tangannya membungkus cupcake pilihan Fatih. "Bolu yang biasa juga, 'kan?" tanyanya sebelum mengambil bolu pandan berbentuk balok.
"Nggih, Mbak."
Setelah melakukan transaksi, Fatih segera menuju parkiran dengan langkah lebar. Senyum yang awalnya tampak menghiasi wajah kini lenyap tak bersisa. Helaan napasnya terdengar kasar saat sebelah tangannya meraih gagang pintu mobil.
Mata elangnya kini tertuju pada sepasang ibu dan anak yang tengah berdebat. Terlihat sang anak lelaki muda yang memaki sang ibu disebabkan kue pesanannya jatuh sesaat setelah keluar dari toko. Rahangnya mengeras beriringan dengan tangan yang mengepal saat melihat ibu tadi ditinggalkan oleh anaknya.
Dengan langkah lebar Fatih menuju di mana ibu tadi berdiri dengan mengusap wajahnya. Sebelum satu kata keluar dari bibirnya, dilafazkan kalimat istigfar dalam hati. Emosinya sering kali memuncak di saat-saat seperti ini.
"Ibu, maaf kalau saya lancang. Kalau tidak keberatan, bolehkah saya antar ibu pulang?" tanya Fatih dengan sopan.
"Eh, ibu gak pa-pa, Nak. Nanti bisa naik angkot aja," jawab ibu tersebut sembari mengusap air matanya.
"Ya sudah kalau ibu keberatan, saya permisi dulu," ucap Fatih sembari memberi saputangan miliknya. Tanpa disadari, ada dua lembar uang merah di antara saputangan tersebut. Hal yang selalu disiapkan Fatih ke mana pun ia pergi.
Tanpa memaksa ibu tadi untuk menerima tawarannya, ia melangkah pergi dan meninggalkan pelataran toko dengan cepat. Amarah yang ditahan masih membuncah hingga membuatnya mengacak rambut dengan kasar. Di saat jalanan mulai sedikit lengang, ia menginjak pedal gas dengan kencang, menyalip kendaraan lain dengan lihai.
***
"Assalamualaikum ...," pekik Fatih setibanya di rumah dinas sang kakak.
"Waalaimukussalam. Uncle Fatiihhh." Dua bocah perempuan berusia enam dan dua tahun berlari sembari merentangkan kedua tangan mereka.
"Sabiya si hidung merahnya uncle." Fatih mengangkat Sabiya Putri, si sulung ke udara lalu mencium pipi kanan-kirinya, gemas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kilometer Cinta [Complete] ✔️
Romance⚠️Warning! Baper detected⚠️ Romance-religi Dukung saya dengan cara follow dan rekomendasiin cerita ini ke teman-teman wattpad kamu. Terima kasih. 💙 Prolog : Siapa pun pasti pernah mengalami kecewa. Entah itu perpisahan atau pertemuan yang disesa...