Fatih tertegun. Bak melihat keindahan warna jamrud air laut berpadu dengan jingganya langit, ia terpana. Matanya tak berkedip sama sekali. Tatapannya berfokus pada satu titik, yaitu wajah Salwa.
"Nak, silakan dilihat baik-baik wajah Nak Fatih. Jangan nunduk terus. Jangan sampai karena malu untuk melihat ada penyesalan yang terpahat nanti." Ibnu---ayah dari Salwa---memperingati putrinya yang sedari tadi menatap pinggir meja.
"I-iya, Yah."
Perlahan Salwa mengalihkan tatapannya. Tangan Fatih yang tertaut di antara kedua kaki menjadi objek pertama yang ia lihat. Tepat ketika sepasang lesung pipi itu terukir, ia beranikan diri untuk melihat wajah Fatih seutuhnya.
Satu, dua, tiga, hingga hitungan kelima, Salwa menatap wajah Fatih lamat-lamat. Mulai dari bibir, hidung, sepasang mata yang dihiasi alis tebal, dan tatanan rambut hitam nan rapi. Rahang tegasnya pun menambah pesona tersendiri. Ditambah lagi warna kulit Fatih yang eksotis. Mungkin ia lebih pantas menghiasi majalah daripada duduk di balik kemudi burung besi.
"Nah, kalau sudah saling terpana seperti ini, langsung sajalah kita tentukan tanggal mainnya," seloroh Hamid---ayah dari Fatih---menyentak keduanya.
Salwa terkejut dan segera memakai kembali kain cadarnya. Tatapannya pun sudah beralih pada kaki meja. Astagfirullah, batinnya. Rona wajahnya memperlihatkan perasaannya saat ini.
Fatih pun sama. Ia menggaruk tengkuk kepalanya yang tidak gatal. Deretan giginya berdampingan dengan sepasang lesung pipi di wajah. Beberapa kali ia menatap Hamid sambil menyenggol lengannya.
"Benar itu Pak Hamid. Tapi sebelumnya, biar kita pastikan lebih dulu pada anak-anak kita. Bagaimana Nak Fatih? Masih tetap ingin melanjutkan ke tahap pernikahan?" tanya Ibnu.
"Iya, Pak. Saya tetap ingin menikahi anak Bapak." Fatih duduk dengan posisi tegap.
Ibnu tersenyum. Kini ia beralih pada putri semata wayangnya. "Salwa, bagaimana keputusan kamu, Nak?" tanyanya dengan suara lembut.
Sofia---ibu dari Salwa---mengambil sebelah tangan putrinya lalu digenggam. Salwa menatap wajah sang ibu. Dari sorot matanya, terlihat jelas bahwa Sofia berharap putrinya menerima lamaran Fatih.
Dengan mengucap bismillaah, Salwa mencoba tersenyum. Ia tidak ingin mengecewakan orang tuanya. Sementara itu, Allah telah memberinya kemantapan hati sebagai jawaban atas doanya dalam salat Istikharah. Sebelum menjawab pertanyaan sang ayah, ia menarik napas panjang.
"Bismillah, Salwa menerima," ungkapnya sambil menatap ujung meja.
"Alhamdulillah," sahut seluruh orang yang ada di ruang tamu kecuali Hazwar.
Pembicaraan pun dilanjutkan dengan penetuan tanggal pernikahan. Sebab jarak tempat tinggal kedua belah pihak keluarga yang cukup jauh. Dari hasil rembukan kedua belah pihak, diputuskan bahwa pernikahan anak mereka akan dilangsungkan pada akhir bulan November. Kurang lebih satu bulan dari hari ini.
"Apa enggak terlalu cepat, Yah?" tanya Hazwar.
"Enggak, War. Lebih cepat lebih baik. Lagian Nak Fatih susah ambil cuti di bulan Desember atau Januari. Jadi daripada menunda sampai bulan Februari, lebih baik dipercepat saja. Benar begitu, Pak Hamid?"
"Iya, benar. Lebih cepat lebih baik. Pernikahan adalah hal yang tidak disukai oleh setan. Kalau ditunda-tunda, dikhawatirkan akan terlalu banyak godaan," balas Hamid menyetujui pernyataan Ibnu. Keduanya pun kembali tertawa santai.
Salwa melirik adiknya yang duduk di kursi tunggal di ujung meja. Ada tatapan saya di matanya. Ia pun mengulas senyum untuk menenangkan hati sang adik.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kilometer Cinta [Complete] ✔️
Romansa⚠️Warning! Baper detected⚠️ Romance-religi Dukung saya dengan cara follow dan rekomendasiin cerita ini ke teman-teman wattpad kamu. Terima kasih. 💙 Prolog : Siapa pun pasti pernah mengalami kecewa. Entah itu perpisahan atau pertemuan yang disesa...