Bab 36: Canggung

12.4K 1.2K 26
                                    

Fatih yang baru saja tiba di Jakarta langsung menuju kantor maskapai untuk memenuhi panggilan atasan. Dia mendapat teguran. Walau tidak ada sanksi khusus, tapi beberapa orang mulai berbisik-bisik di sepanjang langkahnya ketika meninggalkan kantor tersebut.

Di bawah teriknya matahari, dia berdiri di parkiran cukup lama. Orang-orang yang hilir-mudik di sekitar sana memandanginya dengan tatapan aneh. Setelah mendapat kabar dari sahabatnya bahwa belum ada kabar baik mengenai istrinya, dia memutuskan untuk pulang ke rumah sang kakak. Dia tidak ingin pulang ke apartemen yang tidak ada kehadiran sang istri di sana.

"Uncle ... ." Rumaysha memegang jari telunjuk sang paman. Entah mengapa hari ini dia tidak berharap kue bolu yang biasa dibawakan sang paman.

Fatih menatap sang keponakan, lalu berlutut dan memeluknya. Ibah membiarkan mereka. Sabiya yang berada dalam gendongannya pun seolah-olah memahami situasi dan tidak heboh seperti biasanya. Dia menyandarkan kepalanya di bahu sang bunda dan tak bersuara sama sekali.

"Udah makan, Dek?" tanya Ibah.

Fatih tidak menjawab. Dia masih terus memeluk sang keponakan. Pikirannya sudah lelah, tapi hatinya menuntut untuk terus merindukan Salwa.

"Dek ...," ucap Ibah lagi. Namun, kali ini dia hampir menangis. Ingatannya kembali ke saat di mana Fatih ditinggalkan Binar dulu. Hanya saja, yang terlihat di mata Fatih saat ini bukanlah kehilangan, melainkan rasa bersalah yang begitu dalam.

Ibah segera meninggalkan adiknya setelah menurunkan Sabiya dan masuk ke dalam kamar. Dia menangis. Dadanya terasa sakit dan sesak. Dengan menahan isakan tangisnya agar tak pecah, dia memukul dadanya berulang kali. Dia tidak menyalahkan Salwa, hanya saja pikirannya penuh akan pertanyaan mengapa Allah menguji rumah tangga adiknya sedemikian rupa.

Fatih tertidur dengan ditemani Rumaysha. Gadis kecil itu mendadak menjadi anak pendiam dan penuh perhatian. Tatapannya tertuju pada wajah Fatih yang hampir tak dikenalinya. Matanya memanas dan akhirnya air matanya tumpah juga. Sambil terisak kecil, dia berbaring di samping sang paman dan memeluknya dari samping.

"Jangan sakit, Uncle," bisiknya, kemudian dia memejamkan mata.

Tepat sebelum azan asar berkumandang, Fatih terbangun dari mimpinya. Dia bermimpi wajah Salwa yang tersenyum manis. Dadanya bahkan sampai berdegup kencang. Segera dia mengambil wudu untuk melaksanakan salat dan melangitkan doa. Rindunya benar-benar sudah menumpuk terlalu tinggi dan hampir tumpah.

Ketika Fatih sedang bermunajat, ponselnya bergetar sampai entah berapa kali. Panggilan dari orang yang sama, yaitu Hendri sang sahabat. Rumaysha yang mulanya enggan mengangkat panggilan itu pun akhirnya menggeser tombol hijau.

"Assalamualaikum, Bro! Gila, lama bener lu angkat telpon gua. Salwa, Bro, Salwa! Dia udah pulang!" ucap Hendri dengan begitu antusias sampai tidak sadar jika tidak ada respon dari seberang telepon.

Sementara itu, Rumaysha yang mengangkat telepon sontak merasakan sesuatu yang aneh di dadanya. Seperti sesuatu yang panas memenuhi rongga dadanya. Dia segera berlari menuju kamar di mana Fatih sedang duduk di atas sajadah. Namun, karena kurang hati-hati, panggilan tersebut malah terputus.

"Uncle!" pekik Rumaysha.

Fatih yang terkejut sontak menoleh. Namun, lidahnya seperti dipenuhi tulang sehingga sulit digerakkan. Dia hanya menatap sang keponakan dengan  matanya yang basah.

"Onty! Onty! Pulang!" Bocah kecil itu kebingungan. Air matanya sudah tumpah dan dirinya sangat tidak sabar untuk menyampaikan informasi penting tersebut.

"Onty Salwa udah pulang!" ucapnya sekali lagi.

Fatih terbelalak. Gegas dia mengambil ponsel di tangan Rumaysha dan melihat notif panggilan tak terjawab dari sahabatnya. Seketika itu juga dia segera menghubungi kembali.

Kilometer Cinta [Complete] ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang