Bab 32 : Luka-luka Yang Perih

12K 1.2K 36
                                    

Hidup adalah sebuah kesempatan yang pantas untuk dinikmati dengan syarat. Seperti burung yang terbang tinggi mengarungi cakrawala, ia pasti akan kembali ke sarang juga. Manusia pun sama. Setelah melewati hidupnya yang kata kebanyakan orang melelahkan, suatu saat pasti merindukan rumah juga. Seperti yang dirasakan Salwa, dia rindu akan rumahnya yang sampai sekarang masih belum dimengerti siapa pemilik ruang-ruang di hatinya.

Salwa tiba di Palu, Sulawesi Tengah, saat mentari menyusutkan diri, empat hari lalu. Berjam-jam perjalanan dilewatinya dengan tertunduk lesu sambil memikirkan masa depan rumah tangganya. Dia tidak meminta banyak; memiliki lelaki yang perhatian setiap hari padanya; hidup bahagia dengan segala suka-duka; atau juga menghabiskan waktu bersama-sama sampai uban memenuhi kepala mereka. Tidak. Salwa tidak meminta itu. Dia hanya berharap Allah mau memaafkan kesalahannya dan kesalahan suaminya, lalu sama-sama memperbaiki semuanya bersama-sama. Hanya itu. Bagaimana nanti hasilnya, dia akan meminta takdir terbaik saja.

Sehari setelah tiba di Palu, ibukota yang menghadap langsung pada palung indah yang memanjakan mata Salwa, dia segera menuju salah satu desa di Mamuju, Sulawesi Barat. Di sana, seorang teman semasa kuliah sudah menunggunya dengan senang hati. Tentu saja Salwa tidak menceritakan kondisi rumah tangganya. Temannya hanya mengira bahwa kedatangan orang favoritnya itu untuk mencari pengrajin kain di sana. Seperti ketika dulu saat pertama kali Salwa membuka usaha modeste.

Namun nyatanya Salwa tidak melakukan hal-hal yang ada di pikiran temannya. Dia banyak termenung tiap kali menunggu si teman membeli ikan langsung dari nelayan atau ketika hanya ingin berjalan-jalan di tepian pantai.

"Kamu benar-benar ingin pergi ke sana, kah?" suara teman Salwa terdengar ragu saat menanyakan hal itu. Kini, mereka sedang duduk di atas pohon yang tumbang beberapa tahun lalu. Menyaksikan debur ombak yang turut membawa ranting-ranting kecil.

"Hem." Salwa mengangguk.

"Ada siapa-siapa yang sudah menunggu?"

Kali ini Salwa menggeleng.

"Lalu, kamu lagi tidak ada masalah to?"

Salwa menoleh. Sepasang bulan sabit kini terbit di wajahnya. "Kamu belum berubah, Iwat. Hatimu sangat lembut."

"Kamu ... ada masalah sama kamu punya suami?"

Salwa menatap wajah Iwat cukup lama. Mata cokelat itu selalu berhasil menenangkannya. Iwat, perempuan asli tanah Sulawesi yang memiliki paras sangat lembut dipandang mata. Begitupun hatinya yang mudah menerjemahkan perasaan demi perasaan Salwa.

"Kamu kabur?"

Salwa terhenyak. Kabur? Apakah dia benar-benar kabur sekarang?

"Salwa, aku tau kamu punya cerita di masa lalu yang sulit. Tapi kalau boleh, jangan sedih terlalu lama. Hati kamu itu milik kamu, bukan milik siapa-siapa. Kamu yang berhak memberikannya kepada siapa, bukan kebalikannya." Iwat selalu begini. Walau beda keyakinan dengan Salwa, tapi tutur katanya selalu membuat Salwa kagum.

"Iwat, semua ini salahku."

Selama berhari-hari, Salwa tidak sekalipun mengaktifkan ponselnya. Setelah baterainya habis, seusai tiba di rumah Iwat yang sangat jauh dari kota, dia baru sadar bahwa pengisi daya ponselnya tak ikut terbawa. Di rumah Iwat, hanya dia yang menggunakan ponsel. Itu pun model lama yang pernah dibelikan teman satu kelasnya ketika di kampus secara cuma-cuma.

"Kita perempuan, pembungkus hatinya terlalu tipis. Mudah robek dengan goresan kecil saja. Tapi, hati kita itu sangat kuat juga. Bila ada yang sakiti, ia lalu memaafkan atas dasar kasih."

Bulir air mata Salwa merangkak di atas kain cadarnya. Dia tidak tahu harus berkata apa. Hatinya benar-benar tersentuh dengan kalimat-kalimat Iwat.

Kilometer Cinta [Complete] ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang