Fatih dan keluarganya sudah berada di pesawat saat ini. Mereka sengaja mengambil penerbangan paling awal menuju Jakarta dikarenakan Rumaysha mulai rewel mencari ibunya. Sabiya dan Rumaysha sengaja tidak dibawa dan dititipkan di rumah mertua Ibah.
Fatih menatap jam tangan di tangan kirinya yang menunjukkan angka sebelas lewat sepuluh menit. Lima menit lagi pesawat akan segera take off. Ia pun memandangi penumpang lain yang masih belum naik dan tengah berlari menuju burung besi agar tak tertinggal dari jendela pesawat.
Lagi. Kenangan tiga tahun lalu itu kembali hadir di benak Fatih. Sosok perempuan bermata bening yang berlari sambil menyeret koper melintas di ingatannya. Seseorang yang menarik perhatiannya kala itu. Bahkan pernah bertahta cukup lama di dalam dadanya.
"Dek," bisik Ibah di telinga kanan Fatih.
Fatih menoleh. "Kenapa, Mbak?"
"Kalau mau ke toilet masih bisa, 'kan?" tanya Ibah masih dengan berbisik.
"Bisa. Tapi jangan lama. Bentar lagi mau take off. Jadi harus duduk di bangku masing-masing," jelas Fatih.
Ibah mengangguk dan segera menuju toilet. Tinggallah Fatih dan Hamid yang duduk di sana.
"Fatih," panggil Hamid.
"Iya, Pa."
"Ingat, kamu udah gak bisa kembali ke belakang. Apa pun rintangan yang ada di depan, kamu harus lalui," ucap Hamid dengan tegas.
"Iya, Pa." Fatih hanya menjawab dengan jawaban singkat.
"Papa yakin kamu bisa. Ratusan penumpang yang kamu bawa setiap hari pasti udah ngajarin kamu arti tanggung jawab."
Fatih menatap dalam manik hitam lelaki 65 tahun itu. Ada sorot bahagia di dalamnya. Namun, lagi-lagi hatinya merasa perih. Akankah keputusannya ini sudah benar? Mampukah ia melawan segala kenangan masa lalu yang membayang-bayangi hidupnya?
Ibah sudah kembali dan membuyarkan lamunan Fatih. Dengan mengucap istigfar dalam hati, ia mencoba melupakan kenangan yang baru saja melintas.
"Dek," panggil Ibah pada adiknya.
"Iya saya, Mbak."
"Kamu beneran gak merokok, 'kan?"
Fatih menggeleng. "Kenapa?"
"Alhamdulillah. Soalnya waktu itu Salwa ada tanya ke mbak."
"Terus, Mbak jawab apa?"
"Enggak. Soalnya seingat mbak kamu gak ngerokok."
"Kalau aku merokok memangnya kenapa?"
"Dia bakalan nolak kamu," jawab Ibah santai.
Fatih terperanjat. Apa-apaan itu? Menolak lamaran karena merokok? Batin Fatih.
"Memang boleh, Mbak?" tanyanya penasaran.
"Boleh katanya. Mbak juga baru tahu. Kamu udah tahu hukum rokok, 'kan?"
Fatih mengangguk.
"Nah, sebagai seorang muslimah, mereka berhak menentukan pilihan pada lelaki yang lebih condong ke syariat daripada yang melanggar. Untung kamu gak perokok. Mbak lupa nanyain ke kamu waktu itu. Baru keingat ini pas lihat itu," tunjuk Ibah pada rambu keamanan di pesawat.
Fatih tersenyum kecil. Tiba-tiba ada perasaan tidak enak di dalam hatinya. Apakah ini adalah rintangan yang diucapkan papanya barusan? Entahlah, semoga ia bisa memperbaiki dan mempersiapkan diri mulai saat ini.
***
Setelah melakukan perjalanan udara selama kurang lebih tiga jam, akhirnya Fatih dan keluarganya mendarat di Jakarta pada pukul 14.05 siang. Namun, perjalanan belum berakhir. Mereka harus mengendarai mobil untuk menuju rumah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kilometer Cinta [Complete] ✔️
Romance⚠️Warning! Baper detected⚠️ Romance-religi Dukung saya dengan cara follow dan rekomendasiin cerita ini ke teman-teman wattpad kamu. Terima kasih. 💙 Prolog : Siapa pun pasti pernah mengalami kecewa. Entah itu perpisahan atau pertemuan yang disesa...