Bab 17 : Terima Kasih

10.8K 1.2K 39
                                    

Asap dari bakaran sate mengepul hampir ke seluruh area pelataran Kota Tua. Aroma khas yang dikeluarkannya menambah rasa lapar kian menyapa. Salwa dan Ibah segera menghampiri pedagang sate Padang pinggir jalan tersebut. Sabiya yang senantiasa menggandeng tangan bundanya masih menjaga jarak dengan Salwa.

Sementara itu, Rumaysha tengah ingin melekat pada Salwa saat ini. Sejak dua anak lucu itu menghabiskan cupcake rasa cokelat yang dibawa Salwa, Rumaysha hanya ingin digendong oleh calon tantenya itu.

"Dek Salwa pesen yang kuah Padang atau kacang?" tanya Ibah sesampainya mereka di lapak pedagang sate kaki lima.

"Kuah Padang aja, Mbak."

"Biya kuah kacang 'kan, Nak?"

Sabiya mengangguk.

"Uda, kuah Padang duo, kuah kacang ciek," ucap Ibah pada pedagang sate menggunakan bahasa Minang. (Bang, kuah Padang dua, kuah kacang satu)

"Bungkuih atau makan siko?" (Bungkus atau makan di sini?)

"Makan siko, Da." (Makan di sini, Bang)

Salwa menatap Ibah yang baru saja duduk di hadapannya. Perempuan berjilbab hitam itu tampak santai sambil mengambil kerupuk ubi di meja.

"Kenapa, Dek? Kok, liatin mbak gitu banget." Ibah tersenyum sembari mengunyah keripik.

Salwa menunduk sebentar. Lalu ia beranikan diri untuk bertanya. "Mbak bisa ngomong pakai bahasa Minang?"

Ibah terdiam sesaat. Kemudian ia menuangkan air ke gelas dan menenggaknya. "Bisa sedikit, Dek. Dulu kami pernah tinggal di Padang selama setahun," ucapnya sambil tersenyum.

Salwa mengangguk pelan. Ia tidak menyangka bila calon kakak iparnya mahir berbahasa daerah lain. Mereka pun menyantap hidangan beberapa menit kemudian.

Salwa menikmati sate tersebut dengan hati-hati. Kondisi tenda yang tidak bersekat layaknya restoran atau kafe membuatnya harus mencari cara agar cadarnya tidak tersingkap. Beberapa kali ia harus melirik ke kanan dan kiri memastikan pelanggan laki-laki tidak melihat ke arahnya.

Gerak-gerik Salwa tak luput dari perhatian Ibah. Ia juga turut melirik mengikuti arah ekor mata Salwa. "Kenapa, Dek?" tanyanya saat melihat Salwa memegang gelas sambil celingukan.

Salwa tersentak. "Em, itu ... ah, iya." Salwa mengambil sesuatu dari dalam tasnya.

Sebuah pouch yang ternyata berisi pipet stainlistil itu pun dikeluarkannya. Ia segera meminum air pada gelas menggunakan pipet tersebut.

"Alhamdulillah," kata Salwa kemudian.

Ibah masih memperhatikan Salwa. Tangannya yang cekatan terus menyuapi dua buah hati yang sudah belepotan. Rumaysha begitu menyukai kuah kacang pada sate tersebut.

"Ke-kenapa, Mbak?" tanya Salwa ketika mendapati Ibah memperhatikannya.

"Eh, enggak." Ibah memggeleng. "Emm, kamu gak nyaman?" tanyanya setelah menyuapi Sabiya.

Salwa terdiam sesaat. Ia bingung harus menjawab apa. Namun, segaris senyum dari balik cadar terlihat lewat lekukan mata indahnya. Ia harap, jawabannya tak membuat Ibah merasa tidak enak.

"Sedikit, Mbak."

"Apa ... karena kamu pakai cadar?" tanya Ibah dengan hati-hati.

Salwa kembali tersenyum. "Cuma takut tersingkap, Mbak. Jadi, agak deg-degan," ungkap Salwa.

"Kalau boleh tau, sejak kapan kamu ... pakai cadar, Dek?"

"Dua tahun lalu, Mbak." Ada sorot kesedihan di mata Salwa saat ini.

Kilometer Cinta [Complete] ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang