Bab 33 : Ruang untuk Berharap

12K 1.2K 33
                                    

Jarum jam dinding sudah mengarah ke angka sepuluh. Langit yang pekat di luar sana, bertemankan hujan lebat juga kilat yang menyambar-nyambar, tidak sedikit pun mengalihkan pandangan Fatih pada bangunan tinggi dari jendela kamarnya. Tatapan kosong matanya benar-benar terlihat menyedihkan. Tadi sore dia mendapat telepon dari Hendri yang memberi kabar bahwa permintaan cutinya ditolak. Disebabkan libur akhir tahun, penerbangan sedang padat-padatnya. Beberapa pilot sudah mengambil jatah cuti sejak jauh-jauh hari untuk merayakan hari istimewa bersama keluarga, natal dan tahun baru. Begitu pula ketika lebaran menyapa, sebagian pilot muslim bergantian mengambil cuti.

Fatih terus termenung. Pikirannya sudah lelah. Wajah sang mama pula tidak lagi hadir dalam tidurnya. Sebagai gantinya, senyum Salwa seolah-olah menghantuinya. Dia bahkan seperti melihat istrinya ada di ruangan yang sama. Namun, nyatanya itu hanya halusinasinya saja.

"Gua udah berusaha, Bro. Temen-temen Salwa semuanya gak ada yang tau di mana istri lu itu sekarang. Gua saranin, coba lu hubungi keluarganya. Kali aja dia pulang ke sana."

"Gak mungkin Ayah gak ngehubungi gua kalau anak perempuannya itu pulang, Ndri. Kalau boleh milih, gua lebih milih kemungkinan itu dan selanjutnya gua mendapatkan hukuman yang pantas dari bokapnya Salwa. Seenggaknya, gua masih bisa memperbaiki semuanya."

Percakapan Fatih dan Hendri sesaat setelah isa itu pun kembali terngiang di benak Fatih. Dia benar-benar berharap istrinya pulang ke rumah orang tuanya daripada harus menghilang begini. Rasa bersalah terus menerus mengikis hatinya. Dan pada akhirnya dia sadar, ada sebuah ruang di hatinya yang diisi oleh Salwa.

Di tempat lain, di jam yang satu jam lebih dulu berjalan daripada waktu di Jakarta, Salwa juga sedang memandangi langit tanpa bintang. Gemuruh yang menggelegar menandakan tak lama lagi hujan akan mengguyur desa itu. Dia tidak bisa tidur, padahal desa sudah sangat sepi sekali malam ini. Sama halnya dengan Fatih yang berhalusinasi akan dirinya, Salwa juga berulang kali seolah-olah mendengar suaminya yang meminta dirinya untuk kembali.

Namun sayang, Salwa bersikeras untuk menyelesaikan jahitannya dan lalu baru kembali ke Jakarta. Jika tidak ada halangan, jahitan-jahitannya akan selesai empat hari lagi. Itu ... bukan waktu yang lama, kan? Pikirnya, ragu.

***

Kondisi tubuh Fatih mulai memburuk selama bertugas. Dua hari melakukan penerbangan ke beberapa kota membuatnya pingsan saat setelah mendarat di bandara Palu. Wajahnya yang pucat, tulang pipinya yang mulai terlihat menonjol, serta matanya yang selalu sayu bahkan membuat para pramugari hampir tidak mengenalinya. Dia benar-benar terlihat seperti bukan Fatih si pilot ganteng primadona. Bahkan, sifatnya tiba-tiba berubah seperti dulu, saat masih bersama Binar. Dingin kepada semua perempuan yang mencoba menggodanya, kecuali Binar. Hanya saja, saat ini nama itu telah digantikan oleh Salwa.

Mulanya Fatih tidak menyadari kapan hal itu terjadi. Binar yang selama ini melekat erat di relung hatinya, tiba-tiba terlepas begitu saja dan ada nama Salwa di sana.  Dia baru sadar setelah mengadu pada Allah atas permasalahan-permasalahan yang menimpa rumah tangganya. Dia tahu, selama ini tidak begitu akrab dengan Tuhan setiap kali hal-hal buruk terjadi. Namun, pesan dari Salwa setelah pesan izin pamit yang baru saja masuk ke ponselnya pagi itu, pada penerbangan pertamanya pasca libur, akhirnya membukakan mata hatinya.

Kilometer Cinta [Complete] ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang