Pukul 11:50 WIB, pesawat yang membawa 186 penumpang itu telah mengudara selama kurang lebih lima belas menit dari bandar udara Mahmud Baharudin II-Soekarno Hatta. Rambu-rambu wajib mengenakan sabuk pengaman pun telah dinon-aktifkan, menandakan penumpang boleh bergerak bebas walau harus tetap dalam aturan yang berlaku. Perjalanan dari Palembang menuju Jakarta memakan waktu kurang lebih satu jam sepuluh menit.
Di bangku dekat pintu darurat tengah, tampak seorang perempuan bercadar yang sedang membantu lansia untuk bangkit dari duduknya. Lekukan matanya yang menyipit seolah menandakan ia tengah tersenyum pada nenek yang dituntunnya menuju toilet pesawat bagian depan, dekat pintu kokpit.
"Ada yang bisa dibantu, Mbak?" tanya seorang pramugari.
"Nenek ini mau buang air. Tidak apa-apa, biar saya saja," jawab perempuan itu. Lekukan matanya kembali membentuk bulan sabit.
"Oh, iya. Silakan." Pramugari tersebut memberi ruang untuk perempuan tadi lewat bersama nenek yang tak lepas dari pegangannya.
Salwa menunggu di depan pintu sembari memperhatikan para pramugari yang sedang mendorong troli menawarkan makanan dan minuman. Pandangannya beralih pada balita yang berceloteh menanyakan banyak hal pada ibunya. Sesekali matanya kembali membentuk bulan sabit. Bahkan kini ia tengah mencoba berinteraksi dengan balita tersebut lewat jemarinya yang memiliki balutan plaster di beberapa jari.
Kunjungannya ke kota pempek beberapa hari yang lalu tidak lain dan tidak bukan adalah mencari pengrajin songket asli khas Palembang. Profesi yang digelutinya membuat perempuan berusia 24 tahun itu berkeliling ke beberapa daerah untuk memuaskan customer.
Baginya, mendirikan usaha modeste butuh totalitas. Tidak hanya pada kerapian dan kualitas bahan, tetapi juga keaslian bahan baku yang mengedepankan ciri khas suatu daerah sesuai permintaan customer. Sifat gigihnya pun diakui para karyawan yang merupakan sahabatnya semasa kuliah.
Plaster di jarinya adalah salah satu bukti dari kegigihannya. Beberapa kali ia terluka akibat mencoba menenun songket.
Pintu toilet terbuka bersamaan dengan pintu kokpit di sebelahnya. Tak begitu menghiraukan salah seorang yang muncul dari balik pintu kokpit, Salwa segera membantu nenek yang ternyata tak bisa menyiram hajatnya di closet duduk tersebut. Tanpa merasa jijik, ia masuk dan menekan tombol di bagian atas closet lalu memungut tisu yang berserakan dan membuangnya.
Pilot yang sedari tadi memperhatikannya merasa kagum dan tersenyum. Sepasang lubang kecil terlihat kala senyumnya mengembang sempurna. Namun, baru saja ia hendak menanyakan sesuatu, Salwa segera meninggalkan pilot muda itu dengan cepat. Ah, sayang sekali, padahal ia hanya ingin menanyakan nama.
"Makasih, Nak. Maaf sudah merepotkan," ucap nenek tersebut yang dihadiahi mata bulan sabit oleh Salwa.
"Enggak pa-pa kok, Nek."
Muhammad Al Fatih, pilot muda berpangkat senior first officer itu tak mengedipkan matanya kala melihat Salwa menuntun nenek berkalung salib tersebut dengan lembut. Perbedaan yang sangat kontras sekali. Salwa dengan cadar hitamnya, sedangkan si nenek dengan kalung salib yang menjuntai di dadanya.
"Mas Fatih, ada yang bisa dibantu?" tanya pramugari menyadarkan Fatih dari lamunannya.
"Eh, iya, Mbak. Enggak. Ini mau ke toilet." Fatih masih menelisik punggung Salwa yang semakin menjauh.
"Liatin apa sih, Mas? Sampe gak kedip gitu." Pramugari bernama Hilya itu turut memperhatikan arah pandangan Fatih. "Ya ampuuun, dilihatin mulu. Lamar langsung aja gih," ledek Hilya.
"Cepet amat, Mbak. Masak langsung dilamar. Kalau ditolak gimana? Kan aku--"
"Jadi gak nih ke toilet?" potong Hilya cepat. Sebab bila dilanjutkan, Fatih akan memperpanjang pembicaraan yang unfaedah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kilometer Cinta [Complete] ✔️
Romance⚠️Warning! Baper detected⚠️ Romance-religi Dukung saya dengan cara follow dan rekomendasiin cerita ini ke teman-teman wattpad kamu. Terima kasih. 💙 Prolog : Siapa pun pasti pernah mengalami kecewa. Entah itu perpisahan atau pertemuan yang disesa...