Ternyata, kau hanya menjadi bagian dari masa laluku, bukan masa depanku.
***,
Hidup dalam keadaan miskin, tidak punya kerabat dekat, banting tulang agar asap dapur bisa mengepul sudah biasa aku lalui. Bukankah hidup selalu seputar bertahan atau menyerah, dan aku lebih memilih untuk bertahan dan berjuang melewati semuanya walau dengan punggung yang terasa berat. Memaksa memang.
"Zil, cita-citanya apa?" tanya Ayah sewaktu aku kecil.
"Mau jadi guru."
Cita-cita sederhana, yang akhirnya mampu aku capai. Sudah biasa, aku berangkat pagi untuk mengajar di SD, pulang dari sana langsung disambung menjadi guru privat di beberapa tempat. Tak sekalipun aku berkecil hati dengan profesi ini, walau ijazah S1 yang aku peroleh hanya diganjar gaji empat lembar seratus ribuan.
Tapi sayang beribu sayang, profesi yang aku banggakan, malah dipandang sebelah mata. Hari itu, aku merasa sangat terhina dengan ucapan wanita paruh baya yang tak lain adalah ibu dari kekasihku.
Sepanjang perjalanan aku membawa hati yang hancur berkeping-keping. Derai air mata masih setia mengisi detik demi detik yang terlalui. Syukur saja helm yang aku kenakan kaca pelindungnya gelap. Aku tidak perlu takut akan ada orang yang melihat tetesan air mata itu jatuh dari membasahi pipiku. Bukankah akan sangat memalukan.
Jalanan tampak ramai karena orang-orang: karyawan, buruh, pedagang, dan pengangguran sekalipun sedang beradu di jalanan. Mereka berjejal agar bisa sampai di rumah secepatnya. Begitu pula keinginanku. Aku ingin segera masuk ke kamar, lalu menenggelamkan wajah di bawah bantal. BIarlah menangis semaunya aku, tanpa peduli dengan sekitar atau dunia yang keras ini.
"Ya Allah, kenapa bisa basah begini?" Mama terkejut melihatku dalam keadaan basah kuyup seperti tikus yang baru masuk got. "Cepat masuk. Nanti sakit kamu."
Setelah memasuki perempatan di daerah Masjid Agung, hujan langsung turun dengan deras begitu saja. Awalnya aku mengira akan sempat sampai. Tapi ternyata tidak. Dan apesnya, jas hujan tertinggal di rumah. Sudahlah, lebih baik lanjutkan perjalanan, lagipula aku hanya perlu membelah dua jalan lagi sebelum sampai di gang kecil, tempat menghabiskan hidup selama ini.
Aku bersyukur, sisa-sisa air hujan membuat air mataku tersamarkan. Aku hanya menanggapi ucapan Mama dengan anggukan kecil dan berlalu menuju kamar mandi untuk membilas badan, lalu ke kamar guna mengganti dengan piyama merah muda--yang warnanya juga sudah mulai memudar.
"Kak, Zulfa mau main sama Kakak," rengek adik perempuanku di depan pintu. Sementara aku sudah merebahkan badan dan melanjutkan tangis di bawah bantal.
Aku mendongak sebentar, "Kakak lagi gak mau diganggu."
Ah, kenapa juga aku sampai lupa mengunci pintu? Menyebalkan.
Ponselku yang dari tadi aku silent, baru aku tengok kembali. Ada puluhan panggilan tidak terjawab dari Ezar—kekasihku. Chat pun darinya tak ada satu pun yang aku tanggapi. Membaca semua bujukan yang berjejer rapi di pesan itu, sungguh membuatku tak mampu untuk meredakan air mata. Bagaimanapun hatiku sudah terlanjur sakit dan dia harusnya paham bahwa ini bukanlah hal sepele.
***
Atasan batik berwarna cokelat dan rok panjang hitam sudah terpasang sempurna di badanku. Rambutku yang lurus sepunggung diikat agar lebih rapi. Cukup lama aku mematut diri di depan cermin: memoleskan bedak yang sesuai untuk kulit sawo matang ini dan juga lipstik dengan warna nude.
Di atas meja sudah tersaji nasi dengan lauk pauk berupa telur ceplok, buncis oseng, ditambah lagi tempe goreng. Makanan yang sederhana tapi tetap harus disyukuri. Beginilah hidangan di meja makan keluargaku jika sudah mendekati akhir bulan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kita yang Saling Ingkar ✔️ [END]
RomanceFOLLOW DULU SEBELUM BACA Nazila Ersha hanya perempuan biasa dari keluarga sederhana pula. Tidak ada yang menarik, selain kisah percintaannya dengan Ezar Wijaya. Mereka berdua mulai berniat untuk membawa hubungan ke tahap yang lebih serius. Namun sa...