Aku kira drama di atas panggung sudah beres, tapi ternyata masih tak seberapa dengan ide Tante Mita yang ingin diajak ke rumahku.
"Kalian naik apa?"
"Taksi. Kebetulan motor saya dipakai Ayah." Memang benar, kami hanya punya satu motor, kalau aku bekerja, aku yang menggunakannya, dan Ayah pergi ke tempat kerja dengan bersepeda atau ikut salah satu temannya.
Hari ini Ayah mengajak Zulfa pergi ke rumah salah seorang teman Ayah di kabupaten sebelah yang sedang mengadakan hajatan rumah baru.
"Ikut kami saja kalau begitu," usul Aiden. Ini ide yang makin buruk.
Tak punya pilihan, Mama pun setuju.
Mama, Tante Mita, dan Vanila duduk di kursi belakang. Kalau aku mau, bisa saja duduk bersama mereka dengan catatan Vanila berada dalam asuhanku.
"Kenapa tidak duduk di belakang?"
"Gak enak. Nanti Bapak kelihatannya kayak sopir," balasku sembari memasang set bealt.
Dia malah tertawa kecil. Belum pernah kulihat wajahnya seriang ini. Kan selama ini muka itu selalu saja menampilkan raut yang tegang dan serius.
Sepanjang perjalanan Tante Mita dan Mama yang mendominasi suara di mobil. Sesekali aku menengok Aiden yang begitu fokus menatap jalanan dari balik kemudi, lalu aku akan ikut-ikutan mengikuti arah pandangannya.
Hari ini sedang banyak kondangan, dan beberapa melaksanakan di pinggiran jalan. Seketika setengah dari jalanan terpakai sebagai tempat parkir. Perlu waktu dua puluh menit baru kami sampai di depan gang.
Mobil sengaja dititip di halaman rumah orang, lalu kami semua jalan masuk ke gang. Jujur saja, aku cukup malu dan segan mengajak mereka ke rumah. Perbedaan di antara kami bagai langit dan bumi.
****
"Ini minumannya, Pak." Kusodorkan segelas teh ke hadapannya. Lantas aku ikut duduk di kursi panjang depan teras. "Kenapa gak ikut ke dalam aja?"
Matanya masih memandangi beberapa tanaman yang tergantung rapi dan tersusun di depan kami. "Mama kamu masih aja ya suka tanaman begini. Sama seperti dulu. Biar, saya mau nostalgia saja di sini."
Aku lupa-lupa ingat kalau dia pernah ke sini. Maklum, apa yang bisa diingat dari cerita masa kecil.
Kudengar dia tertawa lagi, dan ini sudah kesekian kalinya aku mendapatinya melakukan hal demikian hari ini.
"Kenapa?"
"Lucu saja. Kalau ingat betapa garangnya kamu saat kecil, dan marah-marahnya kamu tempo hari ke saya, itu benar-benar sama. Saya seperti deja vu saja."
Aku tertunduk malu. Mungkin kali ini ada semburat merah di pipiku.
"Perempuan kalau bawel dan suka marah-marah kan katanya wajar?"
Dia membulatkan mata mendengar itu. "Bisa aja jawabannya," ucapnya sembari mengelus kepalaku.
Aku segera menjauhkan tangannya itu dari kepalaku. Enak saja dia menghancurkan tatanan rambutku ini.
"Saya itu malas juga masuk ke dalam. Biarlah para orang tua sibuk berbicara."
Kini aku yang tertawa mendengar kalimatnya yang teramat jujur. Benar juga, berada di antara Mama, Ayah, dan Tante Mita yang ada kami hanya bisa senyum dan mengangguk-angguk kepala. Lebih baik di sini, duduk santai. Vanila dan Zulfa juga terlihat senang sekali bermain boneka di teras ini, duduk dengan beralaskan lantai.
"Boleh saya bertanya?"
"Apa?" tanyaku heran.
"Apakah adikmu pernah dibawa berobat ke dokter atau rumah sakit?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Kita yang Saling Ingkar ✔️ [END]
RomanceFOLLOW DULU SEBELUM BACA Nazila Ersha hanya perempuan biasa dari keluarga sederhana pula. Tidak ada yang menarik, selain kisah percintaannya dengan Ezar Wijaya. Mereka berdua mulai berniat untuk membawa hubungan ke tahap yang lebih serius. Namun sa...