Perasaan yang Tak Bisa Aku Pahami

2.7K 209 2
                                    

Nyatanya aku hanya sedang meramu rasa sakit untuk menjadi lebih baik. Setidaknya, pedih itu tidak terlalu kuat.

***

Terhitung sepuluh menit aku sampai di tempat yang telah aku dan Aiden janjikan. Aku sengaja berangkat cepat, takut saja kalau dia yang ternyata malah menunggu. Bagiku, lebih baik menunggu daripada ditunggu.

Sebelum berangkat Mama sempat menegurku yang tumben sekali pergi, biasanya Minggu siang selalu kuisi dengan tidur-tiduran di kamar. Aku memberi nama 'nge-charge energi' sebelum Senin menyapa kembali.

"Sama siapa?"

"Aiden, Ma."

Mata Mama membulat sempurna. Dia mendesah sebentar. "Anaknya Bu Mita?" Aku mengangguk. Dia tidak salah menduga. "Zil, Mama lihat dia seperti ... begini, Mama hanya tidak mau kamu sakit hati."

Aku menangkap ada kegundahan dalam kalimat dan nada bicara wanita yang kucinta ini.

"Zila paham." potongku. "Tenang ... tidak ada apa-apa, kok, Ma, di antara kami." Aku mencoba meyakinkan.

Aku tahu, Mama bukan perempuan yang mudah percaya begitu saja. Bukankah cerita tentang sakitnya ditinggalkan Ezar sudah begitu menyiksaku dan juga merenggut sedikit asa dalam diri Mama. Padahal Ezar adalah sosok yang sangat baik dalam pandangan orang tuaku. Tapi, mungkin inilah yang dinamakan takdir. Memang tak ada namaku dan namanya bersanding di langit sana.

Tepat pada pukul 14.15 sosok itu datang dengan kaus abu-abu lengan pendek, jaket dan celana panjang selutut berwarna hitam. Rambutnya hanya disisir sekadarnya. Tampilannya lebih santai dari yang biasa aku temui.

"Maaf, buat kamu menunggu lama." Dia duduk berseberangan denganku dengan meja sebagai sekat di antara kami.

Dia cepat memesan menu dan memilih makan berat, sesuai karena ini masih bisa disebut jam makan siang. Seperti kemarin-kemarin, aku hanya mengikuti apa yang dia pilih.

Terhitung lima menit tidak ada yang bersuara. Hanya denting antara sendok dan piring yang mewarnai udara di sekitar kami.

"Bapak ada kepentingan apa memanggil saya ke sini?" tanyaku akhirnya. Lama-lama aku tidak sabar juga.

Sejak datang tadi dia tidak membuka suara yang berarti untukku. Aku datang ke sini bukan untuk membuang waktu begitu saja. Bisa saja dia sibuk merangkai kata, sama seperti aku yang sejak sebelum kedatangannya juga tak bisa diam memikirkan kalimat apa yang harus kuucapkan.

"Bapak tahu, saya itu marah dengan sikap Bapak yang bawa-bawa Vanila. Saya sudah cukup menahan diri dengan kejadian di mobil waktu itu. Tapi ini, saya benar-benar tidak bisa menoleransi." Aku menumpahkan semua kesal. Salahkan dia yang sejak tadi masih saja membisu.

"Sumpah, demi Tuhan, saya tidak pernah mengajarinya berkata seperti itu. Lala, saya minta maaf kalau itu sangat mengganggumu."

"Memang. Sangat mengganggu, malah." Aku melipat kedua tangan di atas meja, menatapnya bagai pisau tajam yang ingin membelah apel.

"Lala ...." Suaranya lembut, begitu pula dengan sentuhannya pada punggung tanganku. "Saya tahu ini terdengar sangat gila mengingat pertemuan kita yang amat pendek, tapi saya benar-benar menyukaimu. Seperti saya, Vanila pun ingin kamu menjadi bundanya."

Kita yang Saling Ingkar ✔️ [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang