“Zulfa, Vanila, mainnya hari ini di rumah saja, ya,” sengaja kuberi peringatan dua orang ini agar mau menurut. Mengawasi Vanila saja sudah merepotkan, dan siang tadi Ayah dan Mama menitipkan Zulfa di sini. Mereka harus pergi melayat ke rumah salah satu keluarga, dan kemungkinan baru pulang besok pagi.
“Siap!” balas Vanila
“Iya, Kakak.” Kalau ini Zulfa yang memberi respons.
Setelah memastikan mereka bermain di kamar saja, aku melanjutkan pekerjaan yang lain, mencuci baju kotor. Membersihkan seragam Vanila selalu menguras tenaga. Bisa saja menggunakan mesin cuci, tapi aku selalu merasa kurang bersih, akhirnya aku cuci dengan manual.
“Kamu tuh, merepotkan diri sendiri,” ucap ibu mertua.
Aku sedang menjemur pakaian di lantai atas. “Mama tahu sendiri, kan, kalau Vanila itu selalu pulang dalam keadaan seragam yang acakadut. Ada bekas tanah, besok-besok bisa saja ada saos atau sambal.”
“Dia mewarisi kelakuan Aiden,” ibu mertua terkekeh. Mungkin saat ini dia membayangkan kelakuan lucu suamiku saat seumuran Vanila.
Aku jadi ingat saat penampilan Aiden semasa berseragam putih-biru. Dia adalah lelaki yang selalu pulang dalam keadaan kusut: bajunya ada bekas kotoran macam-macam. Astaga, benar … Vanila punya gen lelaki itu. Mengingat itu semua membuatku juga ikut tertawa.
Oh iya, mengenai Aiden, seperti kemarin-kemarin, tidak ada kabar darinya. Sepertinya suamiku itu teramat sibuk. Sampai malam menjelang dan ponselku masih saja sunyi. Tak mau ambil pusing dan tentunya karena nelangsa sekali, aku enyahkan semua gengsi. Aku chat dia. Semoga saja mendapat jawaban. Lagipula ini sudah selesai isya, bukankah waktunya di tempat istirahat dan lebih leluasa memainkan ponsel. Tapi sayang, cukup lama taka da juga jawaban.
“Assalamualaikun,” Ezar masuk dengan kemejanya yang lusuh.
Zulfa yang melihat kedatangan lelaki itu, lekas berlari dan memeluknya erat. Padahal tadi dia fokus sekali menatap layar telebisi yang menampilkan acara kartun favoritnya.
“Zulfa kenal sama Ezar?” tanya ibu mertua.
“Dulu Kak Ezar sering ke rumah, bawain es krim atau permen buat Zulfa, bahkan ngajak main.”
Wanita paruh baya itu mengernyitkan dahi sekilas lalu dia lekas mengatur untuk kalem lagi. “Mama kira kamu sama Ezar itu sebatas kenal dulunya.”
Skakmat! Matilah aku!
Aku sadar betul kalau sudah salah bicara. Lagipula aku harus bicara apa? Kelakuan Zulfa yang bergelayut manja di lengan Ezar tentu mengundang tanya bagi siapa saja yang tidak tahu tentang masa laluku bersama lelaki itu.
****
Beberapa hari aku terlalu sibuk dengan kegiatan menyiapakn soal ujian tengah semester untuk anak-anak. Berkutat dengan laptop setelah menidurkan Vanila, malah sampai berjam-jam, sambil membuka-tutup beberapa buku pelajaran sebagai referensi soal.
“Nih, diminum dulu.” Ezar menyodorkan segelas kopi ke atas meja.
Aku yang memang sangat sibuk di depan layar monitor dengan duduk hanya beralas lantai segera mendongak dan mengucapkan terima kasih padanya karena telah repot-repot menyiapkan minuman ini.
Ezar duduk di sofa, menundukkan badan sedikit guna melihat layar, “Masih lama?” Aku hanya menanggapi dengan mengangguk kecil. “Ya sudah, aku temani.”
“Kakak baru pulang … istirahat saja sana,” ucapku kala menyadari jam di dinding yang jarum pendeknya menunjuk ke angka dua belas.
Ini adalah malam ke sekian kalinya dia duduk menemaniku di sini, dengan menyesap kopi bersama-sama lalu dibumbui berbagai cerita dan gelak tawa yang terurai dari suara kami. Jujur saja aku senang setiap dia ada di sisiku—seperti saat ini. Dia selalu mampu mencairkan ketegangan dan menjadi teman bicara yang menyenangkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kita yang Saling Ingkar ✔️ [END]
RomanceFOLLOW DULU SEBELUM BACA Nazila Ersha hanya perempuan biasa dari keluarga sederhana pula. Tidak ada yang menarik, selain kisah percintaannya dengan Ezar Wijaya. Mereka berdua mulai berniat untuk membawa hubungan ke tahap yang lebih serius. Namun sa...