Kagumnya Aku dengan Mereka

2K 163 1
                                    

6 bulan kemudian

“Kamu gak apa-apa kalau saya belum hamil sampai sekarang?”

“Kenapa harus memikirkan itu? Kita sudah punya Valda dan Vanila, kan?”

Betul juga apa kata Aiden. Dan setelah percakapan itu, aku tak pernah ambil pusing. Bukankah dengan lambatnya aku hamil ini menjadi jawaban atas omongan tetangga dulu yang mengatakan aku hamil di luar nikah.

Tapi yang namanya mulut tetangga, pasti saja ada pertanyaan lainnya. Hidup mereka itu hanya untuk mengurusi hidup orang, ya? Setiap ada yang bertanya itu, aku memilih untuk menjauh. Risih.

“Kak, ini tehnya. Ayo, diminum.” Kuletakkan segelas the hangat dan beberapa camilan ke depan Davira. Wanita satu ini sangat ingin menemui Mama dan Ayah. Katanya, kangen. Sekalian, sudah rindu dengan bubur ayam buatan Mama.

Dia menyesap isinya beberapa kali. Tak lupa dimakannya camilan berupa gorengan yang sudah ada di atas meja. Selagi menunggu bubur ayam siap. Padahal wanita ini bersikeras ingin membantu di dapur, tapi Ibu berkelakar takut kalau nanti resep rahasianya bocor. Astaga. Padahal, tidak ada resep rahasia apa pun. Semua bahan dan cara memasaknya sama saja seperti orang kebanyakan.

“Ini, Nak, dimakan. Semoga suka,” ucap Mama seraya menghidangkan dua mangkok bubur ayam di depan kami.

Davira lahap sekali memakannya. Tak perlu waktu lama, isinya bisa tandas. Aku dan Mama saling pandang melihat betapa rakusnya dia. Ya Tuhan … apakah buatan Mama memang seenak itu?

“Nanti kalau aku minta buatin lagi, boleh, kan, Tante?” tanya Davira dengan tatapan yang penuh harap.

Mama hanya bisa menjawab dengan mengangguk. Sementara aku mulai menaruh curiga dengan semua sikap Davira akhir-akhir ini.

“Kakak lagi hamil?” tanyaku to the point. Jangan salah dengan kalimat ini. Wanita yang sedang mengenakan dress selutut warna hitam itu pagi tadi sibuk menghabiskan pagi di kamar mandi. Semua sarapan yang dia habiskan harus dengan ikhlas keluar begitu saja. Dan sekarang dia punya keinginan kuat dengan masakan Mama.

“Mana mungkin?”

“Bulan ini ada datang bulan?” tanya Mama. Aku yakin, wanita yang telah melahirkanku ini juga menaruh tanya yang sama denganku.

Davira mulai berpikir. Matanya melihat-lihat ke atas dengan tangan sambil menghitung-hitung. “Hmmm ….” Dia mulai bersuara. “Iya, sih, Tante, bulan ini telat.”

Lekas aku menawarinya untuk membeli testpack, tapi dia berujar tak perlu. Kami semua tahu, bagaimana beratnya tahun-tahun yang ia lewati selama ini. Dia pernah bercerita, bahwa sudah puluhan tespack yang pernah ia coba, dan semua berakhir dengan sebuah kekecewaan.

Kali ini aku bersikeras, tapi dia juga tak mau kalah. Tapi pantang seorang Zila menyerah. Diam-diam aku pergi ke apotik, dengan alasan awal memberli es krim untuk Zulfa.

“Ayo, coba dulu.”

“Enggak!” Davira lagi-lagi enggan.

Aku tepuk jidat dengan sifat keras kepalanya. Kalau bukan Mama yang memaksa kemudian, mungkin dia tidak akan pernah mau ke kamar mandi untuk mengecek.

Terhitung lima menit dia di dalam. Aku dan Mama menunggu di meja makan. Tidak ada yang membuka suara di antara kami. Cukup tatapan yang selalu ke arah kamar mandi yang menjadi isyarat betapa khawatirnya kami.

“Gimana?” tanyaku lekas saat dia keluar.

Dia tergugu-gugu untuk membuka suara, membuatku semakin kalut. Tak lama dia mengangguk dengan derai air mata yang sukses mengangkat semua rasa was-was yang sedari tadi menderaku. Segera kupeluk tubuhnya yang gemetar itu. Isaknya semakin kencang, dan aku semakin erat mendekapnya.

Kita yang Saling Ingkar ✔️ [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang