Benarkah Aku Rindu?

2K 179 1
                                    

Aku duduk di kursi tunggu UGD dengan hati yang tak keruan. Napasku memburu, badanku bergetar, suara-suara yang ada di tenggorokan tertahan. Hanya doa dalam hati yang bisa kurapalkan, berharap tidak ada hal-hal yang mengkhawatirkan.

Endah duduk di sebelahku. Dia menggosok-gosok pundakku, mencoba untuk menenangkanku. Tapi sayang, aku sudah telanjur kalut.

"Bagaimana kalau ada apa-apa?" tanyaku dengan menundukkan kepala di antara dua lutut.

"Zil, yang sabar. Semua pasti aman," Rangga turut ikut bicara.

Aku cukup bisa bersyukur tadi saat menemukan mama mertua pingsan, kebetulan sekali dua sahabatku ini sedang bertandang ke rumah. Katanya, ingin mampir setelah jalan-jalan. Kalau bukan karena Rangga, siapa lagi yang menggendong mama mertua dan membawa mobil.

Aku sudah beberapa kali diajarkan Aiden menyetir, tapi selalu saja kalah dengan perasaan takut dan khawatir. Dia sering berujar kalau aku itu overthinking.

Lima belas menit menunggu, sama saja membuat sendi-sendi di tubuhku rasanya semakin melemah.

"Bagaimana, Mama?" tanya Kak Davira yang baru datang bersama Fadlan--suaminya. Napas mereka sama terengah-engah.

"Belum tahu, Kak," balas Endah. Dia memang sangat tahu kalau aku sedang tak bisa berkata-kata lagi.

Tak lama dokter keluar. Kami serentak mendekat dan mencecar dengan berbagai pertanyaan.

"Ibu kalian sedang mengalami serangan jantung. Syukurlah, dia lekas di bawa ke sini. Untuk saat ini kondisinya sudah perlahan membaik."

"Bolehkah saya masuk untuk melihat?" tanya Davira tak sabar.

"Beri waktu sebentar dulu untuk beliau istirahat." Lelaki paruh baya dengan jas putih itu lantas pergi. Seiring dengan langkahnya yang menjauh, napasku mulai kembali stabil.

***

Endah menyodorkan sebotol air mineral tepat di depan wajahku. Dia lantas duduk di seberangku dengan meja menjadi sekat di antara kami.

"Makasih." Kutarik napas dalam-dalam. Benar-benar lega rasanya saat ini hatiku usai mendengar penuturan dokter tadi.

"Suami kamu gimana?"

Aku menggeleng lemah. Ah, dari tadi ponselnya masih sulit aku hubungi.

Endah mendesah berat. "Kenapa dia pergi di saat kalian baru menikah begini? Ah, si Babang satu itu ...."

"Wajar, namanya juga kerja."

"Gak bisa begitu juga, dong."

Wanita di hadapanku ini mulai mengeluarkan semua kekesalannya. Padahal, aku istri Aiden, kenapa juga jadi dia yang begitu emosi?

"Sebenarnya aku sadar, dia sedang marah padaku." Akhirnya aku ucapkan juga kalimat itu. Ingin sekali menceritakan ini dari tadi. Tapi berhubung ada Rangga, aku sedikit kikuk. Dan karena lelaki itu sedang sibuk menghisap asap rokok di kejauhan, aku akhirnya berani juga buka suara.

"Maksudnya?" Dahi Endah mengernyit, tatapannya penuh selidik, dan dia sengaja memajukan wajah kepadaku.

Perlahan kuceritakan semua hal yang terjadi di antara aku dan Aiden selama ini. Perlahan Endah mendengarkan saksama, tapi kemudian dia menggebrak meja dengan cukup kuat. Dia lantas bersedekap dan menatapku dengan tajam.

"Bodoh kamu tuh, Zil. Gak takut dosa apa?"

"Ya, mau bagaimana?" Aku merasa tertekan. Kupilih menyandarkan punggung dan menundukkan kepala.

"Aku tuh emang manusia banyak dosa, tapi aku juga tahu kalau yang namanya istri itu wajib memenuhi kebutuhan suaminya."

"Aku itu tidak siap."

Kita yang Saling Ingkar ✔️ [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang