"Ada apa, Nak? Kok, mukanya ditekuk gitu?" tanya Mama.
Seraya memasang kancing di baju pesanan orang, aku menceritakan hal yang membuat hatiku ini jengkel level dewa. Mendengar penuturanku Mama terkesiap awalnya, lantas mencoba untuk menjadi penyimak sejati.
"Ya, kenapa dikembalikan? Kan sayang itu, Zil," ucapnya setelah aku puas menumpahkan amarah.
"Mama ...."
"Zil ...."
Aku mendesah di depannya. Ah, bagaimana bisa aku menerima barang-barang pembelian lelaki itu. Aku tidak sudi ada bekas atau sesuatu miliknya di rumah ini.
"Dia ingin berbuat baik. Apa salahnya? Lagipula anak ini anaknya juga, kan?
"Mama gak ingat apa bagaimana sikap dia waktu itu? Dia sendiri yang meragukan anak ini."
Sejak hari mereka memintaku tes DNA, maka detik itu juga aku bersumpah akan menjauhkan anak ini dari Aiden. Masa bodoh walau dia adalah ayah dari anak yang kukandung.
"Kalau kamu marah sama dia, itu wajar. Tapi barang-barang itu, bukannya kamu juga perlu untuk anakmu. Berpikirlah lebih jernih, Nak."
Dengan membawa amarah yang semakin menjadi, aku memilih untuk pergi menuju kamar dan menutup pintu kencang sebagai luapan atas kejengkelanku.
Sengaja pintu kukunci karena tak ingin diganggu. Zulfa yang ingin masuk saja tak kubukakan pintu. Aku ingin sendiri. Aku perlu tempat untuk menetralkan hati dan pikiran tanpa campur tangan orang lain.
Suatu sore di perjalanan pulang ke rumah setelah jalan-jalan, Endah yang membawa motor bergumam panjang lebar mengenai kemungkinan Aiden yang nantinya akan kembali mendatangiku.
"Pokoknya, kalau dia datang lagi ke hidup kamu, jangan diladenin lagi, Zil. Enak aja dia, udah habis tanam benih di rahim kamu, eh pas hamil malah dicampakkan. Aku tuh gak tega lihat kamu melewati ini semua sendirian," ucap Endah berapi-api. Ada dendam besar di dadanya tang tengah berkobar hebat.
Aku yang duduk di belakang hanya bisa manut-manut mendengarkan. Andai berhadapan, dapat kupastikan wajahnya memerah menahan geram.
Tidak kusangka saja bahwa kalimat Endah waktu itu benar-benar terjadi. Lihat, siapa yang tahu kalau ternyata lelaki itu mengirimiku berbagai barang. Aku menjadi sangsi juga dengan kejadian minggu lalu. Tidak mungkin, kan, kalau dia tidak sengaja melintas di depan halte?
Apa sebenarnya yang ingin kamu lakukan, Den?
Aku sudah cukup damai tanpa kehadirannya. Dan akan kupastikan anak ini juga akan tenang hidupnya, tanpa berurusan dengan ayahnya.
****
Jalanan gang di tempatku ini memang cukup sempit. Kalau becak sedang lewat, maka para pengendara motor yang berpapasan akan sedikit kesusahan untuk berbagi jalan. Karena itulah, setelah Gita mengantar sampai depan gang, aku harus menyusuri jalan lagi sekitar seratus meter agar sampai rumah.
"Eh, aku udah lama gak ketemu mama kamu, Zil," ucap Gita. "Zar, kamu ikut?" tanyanya pada lelaki yang sedari tadi di belakang kemudi.
Lelaki itu kemudian mengangguk, tanda setuju.
Sudah beberapa hari ini dia lebih sedikit bicara. Aku tahu betul penyebabnya pasti karena penolakanku waktu itu. Tapi, yang aku salut dari dia, walau setelah itu, dia masih menjadi orang yang bisa kuandalkan.
"Zar, mama kamu telepon aku terus. Kamu mau sampai kapan sih musuhan begini?" tanyaku suatu hari. Sudah beberapa bulan lelaki ini putus kontak dengan Tante Rika. Seharusnya, ini bukan urusanku. Tapi kemudian menjadi mengganggu karena mamanya selalu bertanya perihal keadaan anaknya padaku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kita yang Saling Ingkar ✔️ [END]
Storie d'amoreFOLLOW DULU SEBELUM BACA Nazila Ersha hanya perempuan biasa dari keluarga sederhana pula. Tidak ada yang menarik, selain kisah percintaannya dengan Ezar Wijaya. Mereka berdua mulai berniat untuk membawa hubungan ke tahap yang lebih serius. Namun sa...