Malu

2K 175 0
                                    

Mama mertua sempat bangun, berbicara sebentar dengan Aiden, lalu tertidur lagi. Kasihan, dia masih perlu waktu istirahat yang lebih lama.

"Abang belum makan ini," ucap Aiden seraya membetulkan selimut mama mertua.

"Kita pulang aja, yuk. Nanti aku masak, deh. Terus kasihan juga Vanila cuman berdua sama Mbak Uti di rumah."

Aku benar-benar khawatir pada putri kecilku itu. Belum lagi jam sudah menunjukkan pukul delapan malam. Sebentar lagi dia harus tidur.

"Valda, kamu ikut juga, ya, Sayang," ajakku. Remaja satu itu sedari tadi sibuk dengan ponselnya di sofa. Dia hanya berdiri sebentar saat Aiden datang, sekadar salim.

"Iya. Kamu ikut Bunda dan Ayah dulu. Biar malam ini Tante di sini," bujuk Davira, setelah mendapat tatapan intens dari Valda. Kami semua tahu, remaja yang satu itu selalu melakukan apa pun atas rayuan Davira.

Valda mengangguk pelan lalu mendongakkan kepala ke arahku dan Aiden. "Terserah Tante saja."

"Valda ... berapa kali Ayah bilang untuk ...."

Kutahan Aiden melanjutkan kalimatnya dengan mengaitkan jari jemari kami. Dia memang selalu paham dengan bahasa tubuh yang aku beri.

Aku hanya tidak ingin keributan tercipta di sini. Lagipula kasihan mama mertua, sudah sakit, masa harus mendengar pertengkaran lagi? Yang ada tambah sakit.

Aiden melemah. Sementara Valda membisu dan sedari tadi sampai mobil sudah memasuki pekarangan rumah, dia masih saja menutup bibir rapat-rapat.

"Pasti capek, kan? Malam ini tidur di kamarnya Tante Davira aja," ucap Aiden sambil membukakan pintu mobil untuk anaknya.

Rumah kami ini memiliki empat kamar di lantai atas dan dua ruangan khusus di lantai satu yang digunakan untuk ruang musala dan satunya lagi ruang bagi Aiden bekerja dan menyimpan seluruh 'harta karunnya'. Iya, dia selalu menggunakan kata itu untuk semua koleksi bukunya.

"Bagus." Valda mengangguk santai tapu dengan mata ke arah depan, bukan pada lawan bicara. "Vanila tidurnya gak kekontrol."

Lantas Valda berlalu begitu saja. Setelah itu, dia tidak keluar lagi dari kamar.

Sementara aku bersiap untuk memasak, tapi tak jadi karena ternyata Mbak Uti sebelum pulang tadi sudah menyiapkan semuanya. Wanita itu memang terlampau peka. Dia tadi berujar, kalau Vanila mendeklarasikan mogok makan kalau aku dan Aiden tidak kunjung pulang. Ternyata benar firasatku untuk segera ke rumah saja.

"Anak Bunda nanti jangan begitu lagi," kataku pada si kecil yang sudah duduk di pangkuan ayahnya.

"Vanila cuma mau makan kalau disuapin Bunda."

Ah, aku hanya bisa menghela napas dalam-dalam. Anak satu ini memang kelewat manja.

"Ya sudah, ayo, sini makan." Kusodorkan sendok ke dekatnya, dan benar saja dia lekas membuka mulut.

Bibir Vanila terlihat gembul jika sedang makan seperti ini. Lucu sekali. Makin gemas aku kalau melihatnya.

"Anaknya saja nih yang disuapin? Ayahnya enggak?"

Aku memutar bola mata. Dasar, ih, badan sudah besar tapi tingkahnya ikut-ikutan manja. Bayi besar.

"Punya tangan sendiri, kan? Makan aja sendiri."

"Iya, Ayah itu sudah besar. Gak boleh disuapin," ucap Vanila juga mendukungku.

"Dasar, ibu sama anak sama saja," keluh Aiden.

Aiden terlihat geram, itu tampak dari wajahnya yang kusut seperti pakaian yang tidak disetrika saja. Sementara aku dan Vanila melakukan tos karena menang melawannya.

Kita yang Saling Ingkar ✔️ [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang