Seikat Janji yang Harus Direlakan

2.2K 169 6
                                    

Sudah seminggu kepulangan Aiden, dan selama itu pula Ezar semakin jarang ada di rumah. Dia hanya pulang untuk ganti baju, mandi, atau tidur. Perihal makan juga selalu dilewatkannya. Sudah makan di luar, ujarnya kemarin. Ada juga dia mengatakan kalau beberapa hari ini lebih senang menghabiskan di rumah temannya.

“Namanya juga anak muda, lebih senang kumpul dengan teman-temannya,” ucap ibu mertua saat kami sedang duduk bersama di depan televise dan kebetulan yang dibicarakan baru pulang.

“Dia tuh gak ada alasan pulang saja,” balas Aiden dengan diiringi tawanya yang renyah, “coba nanti nikah, pasti lebih senang di rumah. Ayolah, Zar, mau sampai kapan begini? Udah kepala tiga lho.”

“Nanti deh,” jawab Ezar. Tas masih di punggung dengan penampilan baju yang acakadut. Kasihan, dia pasti kelelahan sekali setelah bertugas berjam-jam lamanya.

“Atau jangan-jangan sudah ada calonnya?” Aiden mulai penasaran.

“Iya, tapi sayang ….”

“Kenapa?” ibu mertua juga ikut tertarik.

“Ada orang ketiga.”

Mendengar jawaban Ezar aku sontak baru mau menengadah. Kulihat tatapan matanya padaku yang cukup intens. Tuhan, apa-apaan dia ini? Bukankah sudah kubilang kemarin kalau kejadian malam itu jangan dianggap serius.

“Perjuangkan. Jadi cowok jangan lembek, Zar.” Aiden merangkul pundakku. “Dia dulu ogah banget sama aku. Tapi lihat sekarang?”

Saat ini aku memilih untuk membisu. Membalas ucapan Aiden itu jelas salah. Menjawab kalimat Ezar yang ada membawa petaka.

****

Menghabiskan waktu di rumah Ayah sejak pulang mengajar sampai sore menjadi kegiatan favoritku. Aku bisa sekalian membantu Mama memaasak, memasangkan kancing di baju yang baru dia jahit, atau sekadar mendengar keluh kesah Ayah tentang keadaan punggungnya yang suka sakit. Ya, itu pertanda kalau dia merindukan pijatanku. Semua itu kegiatan yang menyenangkan, walau tidak bisa dilakukan setiap hari. Paling-paling tiga atau dua kali dalam seminggu.

Zulfa akhir-akhir ini suka mengeluh karena durasi kedatanganku malah semakin sedikit. Mau bagaimana lagi, Vanila sebentar lagi akan ulangan. Anak satu itu perlu pengawasan agar tidak terlalu main di luar. Belum lagi dia adalah anak yang sedikit susah untuk diajak tidur siang. Membawanya ke sini yang ada membuat matanya selalu terbuka karena ada teman bermain, Zulfa.

“Adek seharusnya belajar untuk memijat Ayah. Kasihan, tulang-tulangnya mulai rapuh,” ujarku menasihati Zulfa yang selalu saja menghabiskan waktu sore dengan menonton acara kartun. Saking asyiknya, dipanggil mengambilkan gunting saja tidak dia hiraukan.

“Dasar kamu tuh, suka meledek Ayah.” Merasa kesal lelaki paruh baya itu menarik ujung rambutku. Padahal, aku sedang fokus memberi tekanan pada pundak-pundak yang ia keluhkan sakit tadi. “Mana cucuku? Kenapa tidak dibawa?”

“Dia sedang lagi masa hukuman. Biasa … mulai berkelakuan, Yah. Kemarin dia baru pulang pas mau Maghrib. Aiden sampai marah besar. Sebenarnya, aku juga kasihan lihat Vanila nangis begitu. Tapi, mau bagaimana lagi?”

Kalau tidak mengingat permintaan ibu mertua minta ambilkan baju pada Mama, pasti aku berat hati ke sini. Melihat wajah anakku yang basah dengan air mata, dan dia merengek kencang sekali. Kasihan ….

“Keras juga ternyata Aiden dengan anak-anaknya.”

Ah, ayahku ini tidak tahu saja kalau lelaki satu itu juga bisa berlaku sangat tegas padaku.

Suara jam berdentang, pertanda hari sudah menunjukkan pukul empat sore. Aku lekas menyudahi acara bertamu hari ini dan pergi menuju depan gang. Sudah menjadi rutinitas dia akan menjemput. Namun, kali ini karena beberapa alasan dia harus mengalihkan tanggung jawab pada Ezar.

Kita yang Saling Ingkar ✔️ [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang