Benci Jadi Rindu

1.9K 154 0
                                    

Dia memang seseorang yang pernah mengukir kisah begitu manis dalam perjalanku. Namun, fakta bahwa dia adalah bagian dari sakit hatiku juga tidak bisa diindahkan.

****

“Suapin, dong. Masa anaknya aja?” Aiden membuka mulut dengan wajah menghadap kepadaku. Matanya sesekali mengerjap agar aku menurut.

Aku geleng-geleng kepala. Tidak si anak, tidak si ayah, sama-sama suka merepotkan.

“Mama, lihat anakmu yang satu ini,” keluhku.

Mama yang berjalan ke arah kami sambil membawakan buah segera mengetuk kepala Aiden dengan sendoknya. Membuat suamiku itu akhirnya mengaduh. Dia mengusap-usap kepala, sambil meringis. Ah, aku yakin pukulan mama mertua tidak sekencang itu.

“Sakit, Ma ….”

“Gak malu apa sama Ezar?” tegur mama mertua seraya duduk di sebelah Ezar.

Aku menunduk malu. Benar juga apa kata beliau. Perlahan kulihat Ezar, dan kedua mata bagai elang itu menatapku dengan wajah datar di seberang itu. Ekspresi itu selalu mampu aku pahami. Bagaimanapun kami bersama dalam waktu yang cukup lama. Sedikit saja perubahan dalam wajahnya, sudah dapat kuartikan.

Dia menggeleng lantas meneguk sekelas air di hadapan. Ok, aku tahu dia sedang berusaha bersahabat dengan keadaan. Dan aku pun sama.

“Ayo, dimakan, Kak. Sayang kalau makanannya dingin,” tegurku. Dia sedikit terbatuk dan menarik salah satu sudut bibirnya.

“Sayang, Ezar ini dulu satu universitas, lho, denganmu,” ucap Aiden di sela makannya.

“Kami dulu teman satu teater, Kak,” ucap Ezar cepat. Mataku membola karena kalimatnya, dan saat Aiden bergantian menatap kami, aku tahu itu berarti dia meminta penjelasan dan konfirmasi.

“Dulu Kak Ezar ini sutradara di sanggar. Kalau aku hanya penata busana.”

Segera kurespons. Lebih baik jujur, bukan? Bagaimanapun berbohong pada pasangan sama saja menggali kuburan sendiri. Dan aku tidak mau melakukan itu.

“Wah, berarti udah dekat, dong?” tanya mama mertua.

“Hanya sebatas teman, Tante,” Ezar cepat berkilah. Setidaknya aku bisa bernapas lega karena itu.

Bagaimanapun yang namanya masa lalu di saat itu yang tercipta, tentu tak bisa kami urai kembali di sini. Dan tentu sekarang karena keadaan yang berbeda.

Kemudian seperti biasa Vanila menarik seluruh perhatianku. Walau sudah mau masuk TK besar, dia selalu tidak mau makan sendiri jika sedang berada di rumah. Kata Mama, padahal selama di rumah Davira kemarin dia sangat mandiri. Tapi pas pulang, malah kembali ke mode awal: manja setengah mati.

“Perlahan ajarkan Vanila untuk tidak terlalu bergantung padamu. Saya hanya tidak mau dia jadi anak yang kelewat manja dan gak bisa apa-apa,” saran Aiden beberapa malam yang lalu sebelum kami terlelap dalam tidur. Dan aku pun mengamini.

Setidaknya sudah hampir seminggu ini aku biarkan dia tidur sendiri.

“Malam ini tidur di kamar Adek, ya,” tawar Vanila dengan mulut sembari mengunyah makanan.

Aku mendesah pelan. Sementara Aiden cepat memberi respons. “Gak boleh. Titik.”

“Ah, Bunda sama Ayah jahat.” Wajah masam langsung tercipta dari sosok putri kecilku. “Kalau Vanila gak boleh tidur sama Bunda, terus kenapa Ayah masih saja tinggal di kamar Bunda?”

Sejenak suara di tempat ini seperti tertelan begitu saja. Aiden dan aku saling tatap. Sementara mama mertua malah tertawa puas mendengar celoteh cucunya.

Kita yang Saling Ingkar ✔️ [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang