Jangan Pertemukan Kami

4.6K 336 2
                                    

Tiga tahun berikutnya.

Aku berdiri di depan kelas. Anak-anak sudah duduk rapi dengan senyum yang begitu manis. Kala aku masuk, terpancar aura kegembiraan. Anak-anak antusias memulai pelajaran, dan itu menjadi suntikan semangat untukku yang sudah menghabiskan waktu perjalanan selama sepuluh menit menggunakan motor.

"Selamat pagi, Anak-anak."

"Selamat pagi, Ibu."

Sebelum memulai pelajaran, aku akan menanyakan kabar anak-anak, lalu disambung baca doa, dan bernyanyi untuk membangkitkan semangat. Aku amat bersyukur karena setiap tahun selalu mendapat jatah mengajar di kelas dua. Bagiku, mengajar di kelas rendah jauh lebih menyenangkan, karena anak-anak lebih mudah diatur dan lebih asyik saat diajak bercanda dan juga menyanyi bersama.

Pembelajaran hari ini adalah tentang pengurangan dengan konsep meminjam. Padahal, materi ini sudah diajarkan di minggu kemarin, tapi karena lebih dari lima puluh persen anak-anak yang tidak mampu menguasainya, akhirnya AKU memilih untuk mengulanginya lagi. Begitulah nasib menjadi guru. Ada saja hal-hal yang tidak terduga. Sering sekali, aku menyusun RPP (Rencana Pelaksanaan Pembelajaran) dengan matang, tapi terkendala dengan keadaan, salah satunya seperti ini.

Di tengah-tengah mengajar, aku duduk di kursi sedang anak-anak sedang sibuk mengerjakan soal sebanyak sepuluh buah. Mataku memindai sekitar lalu beralih menatap sepatu hitam yang warnanya mulai lusuh di beberapa bagian. Sepatu itu pemberian Ezar kala aku berulang tahun empat tahun yang lalu.

"Kamu suka?" tanya Ezar karena mendapati mataku yang tak bisa lepas memandang sepatu hitam dengan hak sekitar tiga sentimeter terletak di etalase sebuah took yang kami lewati.

Aku dengan cepat menggeleng. Sebuah kebohongan sudah tercipta. Jika ditanya lebih dalam, tentu aku ingin, tapi aku pun sadar diri. Gajiku selalu habis sebelum tanggal dua puluh setiap bulannya. Dan aku tidak punya tabungan untuk membeli barang sebagus itu.

"Aku belikan, ya?"

"Gak usah."

Siapa sangka, sebulan setelah itu, Ezar memberikan kejutan dengan memberikan sepatu yang sangat kuinginkan itu. Padahal, bagiku kedatangan Ezar saja di saat ulang tahun sudah sangat membahagiakan. Dia tak perlu hal yang lain. Bersama Ezar, bercerita banyak hal, atau mendengarkan keseruan kuliah Ezar di pulau Jawa juga sangat menarik. Cukup dengan menyimak seperti itu, mengobati hatiku yang sedari dulu memang ingin mengunjungi Yogya. Ezar banyak cerita mengenai keindahan dan kayanya budaya lokal di sana, belum lagi pariwisatanya. Aku hanya bisa berdoa suatu saat bisa pergi sana. Andai ....

"Ah, ini mahal sekali," ucapku saat melihat harganya.

"Sudah, ambil saja. Pakai untuk mengajar, ya."

Aku hanya bisa mengangguk dan tersenyum senang.

Masa-masa yang indah bagi, tapi sayang itu dulu. Sudah beberapa tahun dan aku sudah tidak tahu kabar lelaki itu. Sesekali aku melihat akun instagramnya, hanya untuk mengobati rasa rindu. Dusta jika aku tak sedikitpun merasa nyeri kala memandang wajahnya. Namun, mau bagaimana lagi. Hidup memang selalu mengalami perubahan, dan hubungan mereka adalah salah satunya.

Menurut kabar dari kawan-kawan, keluarganya juga ikut pindah ke Yogya. Dulu Ezar memang pernah bercerita bahwa mereka semua asli orang Yogya. Mengapa mereka tinggal di Banjarmasin? Itu hanya karena mengijuti tuntutan pekerjaan ayahnya Ezar yang memang kerap berpindah-pindah.

"Bu, sudah selesai." Suara salah satu siswa membuyarkan lamunanku.

**

Aku duduk termenung di atas sofa. Ibu Anisa--rekan kerjaku di sekolah--beberapa kali memberi pertanyaan yang sama, sedang aku masih berkutat dengan pikiran yang seperti benang kusut.

Kita yang Saling Ingkar ✔️ [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang