Kepingan Masa Lalu

2.1K 145 0
                                    

Aku duduk di ruang keluarga sembari mengerjakan penginputan nilai para siswa. Setiap bulan mereka selalu kuberi ulangan per tema, dan setelah itu maka malamnya aku akan berkutat cukup lama untuk menganalisis lalu memasukkan hasil nilai. Setidaknya bisa menjadi bahan evaluasi.

Segelas teh hangan menjadi temanku, dan tak lupa beberapa potong kue kukus. Tentu saja buatan mama mertua. Merasakan setiap aroma dan gigitan kue buatannya selalu mampu memabawa kenikmatan. Dia tidak pernah gagal dalam hal membuat kami terpesona dengan kelihaiannya mengenai dapur dan kue.

Pernah aku berkelakar agar sekalian saja buat toko kue atau buka pesanan. Lalu dia malah bergumam kalau urusan masak itu susah, karena semuanya selalu sesuai mood.

“Masih sibuk aja, nih,” ucap seseorang dengan suara baritonnya. Aku lekas mendongak dan sudah ada sosok Ezar di depanku.

Kutatap jam di dinding, “Belum tidur juga? Kan besok pagi kamu ada jadwal operasi?”

“Ah, hobimu dari dulu, ya, balik bertanya.” Dia ikut duduk di sofa, melihat-lihat hasil tugas anak-anak di atas meja. Berada di dekatnya membuat pergerakanku sedikit tertahan. Jengah sekali. “Kenapa tidak siang saja dikerjakan?”

Aku juga maunya begitu. Tapi, siangku sudah habis bersama Vanila. Aku hanya berujar dengan lelaki di sebelahku ini bahwa ini adalah salah satu caraku untuk mengusir jenuh menunggu Aiden yang lagi dan lagi harus lembur. Gila sekali siklus kerjanya akhir-akhir ini. Mengerjakan tender besar membuat waktunya sangat tersita.

“Kakak mau teh?” tanyaku untuk melepas canggung.

“Gak usah. Saya tadi habis minum juga tadi di dapur, gak sengaja dengar bunyi  keyboard laptop, ternyata kamu lagi sibuk di sini. Sudahlah … saya ke kamar dulu. Kamu jangan terlalu menguras tenaga.  Nanti malah sakit.”

“Siap, Pak Dokter. Tapi, kalau nanti saya sakit, kan, ada kamu di sini?”

“Hai, Nona, biaya pengobatan dengan saya tuh mahal,” balasnya sambil mulai berdiri dan mulai beranjak.

“Bisa, dong, minta diskon?” setengah berteriak aku mengucapkannya, membuat dia berpaling sebentar lalu mendesah.

“Saya minta suami kamu untuk bayar full. No diskon. Tidak ada juga harga teman.”

Aku mengerjap mendengar semua jawabannya. Kemudian tertawa kecil seraya geleng-geleng kepala. Ah, Ezar memang dari dulu suka cari ribut.

Perlahan semua memori di masa-masa pertemuan kami dulu kembali berputar bagai sebuah film lawas.

Awal tahun 2015 itu aku dan Endah memutuskan untuk mengambil kuliah yang sama di salah satu universitas negeri ternama di sini. Aku mengambil jurusan PGSD, sesuai dengan cita-cita masa kecilku yang ingin sekali menjadi guru. Sementara Endah di jurusan teknik informatika. Walau berbeda fakultas, dan sibuk dengan tugas masing-masing, kami akan meluangkan waktu sebisa mungkin seperti di kantin kampus untuk makan bersama.

Di kampus aku bukanlah wanita yang digandrungi para mahasiswa. Ah, siapa juga aku? Hanya wanita biasa, yang datang ke kampus pakai sepeda—yang dipakai dari zaman SMA, wajah pas-pasan pula, dan kuliah dengan modal beasiswa Bidik Misi. Aku cukup bersyukur bisa mendapatkannya, karena aku tidak harus merepotkan Ayah dalam hal bayar UKT kampus.
Aku ingat, siang yang diwarnai dengan rinai, awan gelap, dan ributnya para mahasiswa yang berjubel di lingkungan kantin. Entah datang dari mana, Endah langsung mengeluarkan ide untuk ikut UKM Tetater universitas.

“Aku itu mana ada bakat untuk hal begituan.”

“Coba aja dulu, Zil. Siapa tahu cocok.”

Keesokannya aku—dengan paksaan Endah—datang ke sanggar. Di sana sudah ada beberapa mahasiswa baru yang juga baru ikut bergabung, sama seperti kami.

Kita yang Saling Ingkar ✔️ [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang