Bundanya Vanila?

3.2K 240 0
                                    

Suara Aiden sore tadi berhasil kepalaku pusing tujuh keliling. Dari makan malam, Ayah dan Ibu sampai menegur makanku yang amat lambat. Dan kini, mataku rasanya sulit terpejam.

Aku sudah menghadap ke kanan lalu ubah ke kiri, masih saja tidak bisa tertidur. Frustasi. Aku memutuskan bangun, duduk bersandar pada kepala ranjang. Kulihat Zulfa sudah nyenyak sekali. Dia langsung tertidur setelah aku membacakan sebuah dongeng.

Aku geleng-geleng kepala mengingat tingkah Zulfa. Adikku ini teramat manja padaku. Entah, bagaimana nantinya dia saat aku menikah dan harus meninggalkan rumah? Apakah dia berani tidur sendiri? Ah, ke toilet saja terkadang minta ditemani, walau aku hanya berdiri di depan pintu menunggunya selesai.

Ponselku berbunyi, ada chat dari Aiden.

[Selamat malam. Saya berharap usai kejadian tadi hubungan kita tidak menjadi retak. Saya tahu, mungkin saya terdengar naif. Tapi saya serius. Saya bukan anak remaja. Kamu tahu itu, kan?]

[Kok tidak dibalas?]

Ah, lelaki ini.

[Saya mengantuk] balasku asal.

[Maaf karena mengganggu. Selamat malam. Semoga mimpi indah.]

Kututup ponsel dengan hati yang campur aduk. Marah, jengah, malu, dan kesal. Ah, semua sudah menjadi satu.

Aku hanya berharap ini adalah mimpi, dan besok semua akan kembali seperti sedia kala. Tapi apa mau manusia, tak selalu begitu dengan kehendak Tuhan.

***

Dua kali dalam minggu ini aku mengajar les Vanila, dan aku sangat bersyukur tidak menemui ayahnya. Tante Mita bilang kalau anaknya itu sedang sibuk dan harus lembur karena pekerjaan.

Syukurlah ... setidaknya aku tidak harus menjaga sikap di hadapannya.

Kami memang tidak ada kontak lagi, dan itu cukup baik. Tapi, aku tidak bisa menjamin semua akan baik-baik saja kala bertemu langsung.

Sore ini rumah berlantai dua dengan konsep scandinavian ini terasa sunyi. Sepanjang kedatanganku, tidak ada aku melihat sosok Tante Mita. Biasanya wanita paruh baya itu menyambutku di depan pintu, lalu menyodorkan beberapa kue buatannya. Dia dari dulu memang gemar sekali bereksperimen di dapur.

"Neneknya Vanila ke mana?" tanyaku pada Mbak Uti.

"Lagi ke luar kota, soalnya suami sahabatnya Nyonya meninggal."

Aku mengangguk paham. Ah, kasihan Vanila. Berarti sejak tadi dia hanya bersama Mbak Uti.

Aku menyisir sekitar dengan mataku. Rumah ini besar, tapi sayang, hanya diisi oleh beberapa orang. Itu pun kalau anggota keluarganya terkumpul lengkap.

Aku jadi prihatin juga pada Tante Mita. Dia pasti nelangsa dengan kesibukan anak-anaknya.

Sepanjang kuajari membaca, Vanila terlihat tidak terlalu bersemangat. Wajahnya lebih banyak ditekuk. Tidak biasanya.

"Kenapa? Kok, gak semangat gini?"

Dia meraih tanganku dan meletakkan telapak tanganku di atas dahinya. Aku terlonjak. Dapat kurasakan aliran panas menjalar ke kulitku.

Aku lekas ke belakang mencari sosok Mbak Uti.

"Mbak, ada obat?" tanyaku kepada wanita itu.

"Siapa yang sakit?"

Aku sebutkan nama Vanila, dan dia tampak kaget.

Ah, rupanya ....

Aku tidak bisa menyalahkan Mbak Uti yang tidak tahu. Mungkin dia terlalu sibuk mengurus rumah.

Kita yang Saling Ingkar ✔️ [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang